Melihat dan membaca berbagai berita akibat gempa tektonik di dasar laut yang mengakibatkan badai tsunami di sumatra bagian utara, membuat aku miris sekali.
Bagaimana kalau aku ada di sana. Betapa hal-hal yang indah akan sirna dalam sekejap saja. Tuhan tidak akan memberi kesempatan untuk berpikir lagi saat kita berada di tengah bencana. Cuma dua pilihannya, mati atau selamat. Itu aja.
Namun, bencana alam seperti itu adalah benar benar tidak dapat diprediksikan sebelumnya. Bahkan juga banjir bandang di sungai. Sungai yang tadinya tenang dan dangkal, tiba tiba bisa menelan korban karena banjir yang tiba tiba datang tanpa ada tanda tanda sebelumnya.
Kalau sudah begitu itu, hanya bersyukur yang aku bisa lakukan. Karena Tuhan masih memberi kesempatan hidup padaku dan semuanya yang masih hidup. Masih diberi kesempatan untuk memperbaiki hidup. Membuat hidup ini jadi lebih berguna.
Terima kasih Tuhan.
Amin.
Monday, December 27, 2004
Friday, December 24, 2004
Harapan tentang suatu pengabdian
Sangat sulit mengharapkan sesuatu yang bersifat pengabdian di jaman sekarang ini. Semuanya begitu berbeda.
Memang jaman sudah berubah, aku menyadarinya dengan amat sangat. Namun tidak bisakah kita mendapatkan sesuatu yang berbeda. Sekarang jamannya memang sudah bukan jaman feudal (begitu orang berumur bilang). Sudah modern. Orientasi nilai sudah bergeser. Nilai nilai dalam kehidupan banyak diasosiasikan dengan angka.
Yah. Memang hidup ini berat dan sulit bagi sebagian orang.
Contoh mudah di depan mata. Tidak bisa kita berharap mendapatkan pembantu dengan nilai pengabdian pada saat ini. Sebaik baik kita memperlakukan mereka dengan standard diatas rata rata pun tidak akan memberikan dampak pengabdian pada sikap dan perilaku mereka. Sebesar apapun kita memberikan apa yang mereka butuhkan, itupun tidak menjadikan pengabdian jadi focus mereka dalam melakukan pekerjaan. Serela apapun yang telah kita korbankan untuk mereka, itupun tidak akan memunculkan factor pengabdian pada apa yang mereka lakukan. Seolah olah, mereka tidak mengenal apa kata balas budi atau hutang budi. Bahkan jika kita dengan repot memikirkan bekal apa yang harus mereka dapat untuk hidup di masa yang akan datang dengan mandiri. Itupun tidak menambah adanya factor pengabdian pada segala apa yang mereka kerjakan.
Semua tetep berdasar factor ekonomi. Factor nyaman atau tidak nyaman. Factor enak atau tidak enak. Factor bisa atau tidak bisa. Factor p[antas atau tidak pantas. Tidak ada factor pengabdian yang tulus dalam mereka melakukan pekerjaannya. Atau, apakah itu salah satu cara mereka menunjukkan bahwa mereka masih mempunyai eksistensi diri dan tempat dalam kehidupan ini. Sehingga jika factor pengabdian masuk dalam hidup mereka, seolah olah hidup mereka sudah diambil oleh majikan.
Tentu saja apa yang aku tulis masih dalam scope sempit, yaitu masalah dengan keberadaan pembantu rumah tangga di masa modern ini.
Ada beberapa kasus lain, dimana pengabdian masih mendapatkan tempat nomor satu dalam kehidupan ini. Namun, aku ingin memfokuskan pada satu hal saja untuk saat ini, yaitu pembantu rumah tangga. Obyek yang aku hadapi sehari hari, dan kadang menjadi masalah yang cukup penting dalam kegiatan harianku.
Kadang aku menjadi frustasi, apakah aku sebaiknya menjadi seorang nyonya rumah biasa saja. Seperti kebanyakan nyonya rumah yang menjadikan pembantu mereka adalah benar benar pembantu. Tanpa susah susah memikirkan apa yang akan menjadi bekal hidup mereka di masa mendatang. Mengingat kelakuan pembantu yang selalu membuat diriku susah. Menyesalkah aku karena aku pernah menyekolahkan mereka hingga tamat. Mengikutkan kursus mereka. Memberikan bekal materi yang cukup. Mencarikan mereka tempat kerja yang kemudian ditolak mentah mentah.
Kadang penyesalan cukup penting untuk mengurangi beban pikiran yang ada karena telah bertindak cukup manusiawi buat mereka, para pembantu. Yang kemudian akan berbuntut dengan pemikiran, ya sudahlah, biarlah aku memperlakukan mereka memang sebagai pembantu. Sebagaimana layaknya pembantu. Dan tidak perlu memberikan suatu yang dapat menjadi suatu ikatan batin di masa datang.
Perlakukan mereka sebagai pembantu. Itu saja. Daripada kemudian aku frustasi di masa datang karena seolah olah tidak ada gunanya aku memberikan begitu banyak bekal untuk mereka. Memang aku tidak berhak mengarahkan hidup mereka di masa depan. Memang tidak. Aku tidak punya hak atas masa depan mereka. Walaupun maksud baik ada dibalik semua itu. agar mereka tidak selamanya jadi pembantu rumah tangga.
Percuma aku selama beberapa tahun terakhir ini susah payah memikirkan bekal untuk masa depan mereka. Karena mereka sendiri tidak pernah memikirkan hal tersebut. Sekali lagi, tidak ada factor pengabdian dalam apa yang mereka kerjakan. Semuanya hanya berdasar factor pekerjaan. Pekerjaan. Dan pekerjaan.
Sekarang ini, sepertinya aku ingin menghentikan semua perbuatanku dalam membantu orang orang kecil yang bersusah payah untuk membayar uang sekolah mereka. Percuma. Dan tidak berguna. Sepertinya aku akan menghentikan semua donasiku untuk uang sekolah anak anak tidak mampu. Mereka hanya akan menganggap aku seperti mesin uang yang memang sudah selayaknya mengucurkan uangnya. Mereka tidak berpikir bahwa aku dengan susah payah menyisihkan sebagian dana untuk hal hal seperti itu. bahwa aku bahkan merelakan hal hal lain yang seharusnya bisa aku dapatkan dari dana yang aku sisihkan tersebut. Bahwa jika uang tersebut aku kumpulkan sendiri saja sejak beberapa tahun lalu, pasti sudah lumayan simpanan uangku, daripada aku hambur hamburkan untuk mereka. Bahwa jika uang itu aku pergunakan untuk hal hal lain di keluarga, akan menampakkan wujud yang lebih bermanfaat. Sepertinya aku sekarang berada dalam batas titik nadir, dimana aku hanya seperti menaburkan garam di laut. Tidak ada gunanya. Tidak ada bekasnya. Percuma. Sia-sia.
Sejujurnya aku tidak pernah mengharapkan imbalan apapun dan dalam bentuk apapun untuk semua yang kulakukan. Tapi melihat kelakuan mereka semua, aku menyesal. Mungkin aku terlalu memasukkan perasaan “orang Jawa” dalam melihat orang lain. Sehinggal hal hal yang menurutku seharusnya begini seharusnya begitu juga aku terapkan kepada orang lain. Dan aku tidak menyadari bahwa setiap orang dari daerah yang berlainan sangat berbeda dalam memandang suatu tindakan.
Mungkin aku akan menjadi orang lain saja. Mungkin aku tidak usah menyusahkan diri sendiri demi membantu orang lain. Mungkin lebih baik aku pergunakan uangku untuk hal hal yang lebih berguna. Mungkin aku terlalu ambisius dalam membantu orang lain.
Namun, bisakah aku menghentikan begitu saja semua itu? mungkin aku harus memberitahukan secara perlahan, supaya mereka mencari orang lain dalam waktu dekat. Aku ingin menyenangkan diriku sendiri saat ini. Tidak mengalahkan hal hal kesenanganku hanya untuk orang lain. Yang bahkan mungkin orang lain tidak pernah memikirkan hal tersebut.
Aku ingin jadi orang yang tidak perduli dengan mereka. Toh semua orang sudah mendapat jalannya dan arahnya dari Tuhan. Jadi bukan hakku untuk membantu mengubah hidup mereka.
Aku ingin jadi orang biasa saja. Yang membantu orang sebisa aku. Yang membantu orang dikala aku bisa dan mau saja. Tanpa perlu bersusah payah mengalokasikan dana dana untuk pos lain dan mengalihkannya pada mereka.
Aku saat ini benar benar dalam keadaan menyesal menjadi orang yang terlalu sok baik hati. Hanya karena kelakuan para pembantu yang membuatku sedih. Karena mereka aku jadi ingin mengubah seluruh pandanganku terhadap orang kecil. Ternyata mereka semua memang mentalnya sudah terbentuk seperti itu. tidak akan pernah berubah.
Memang jaman sudah berubah, aku menyadarinya dengan amat sangat. Namun tidak bisakah kita mendapatkan sesuatu yang berbeda. Sekarang jamannya memang sudah bukan jaman feudal (begitu orang berumur bilang). Sudah modern. Orientasi nilai sudah bergeser. Nilai nilai dalam kehidupan banyak diasosiasikan dengan angka.
Yah. Memang hidup ini berat dan sulit bagi sebagian orang.
Contoh mudah di depan mata. Tidak bisa kita berharap mendapatkan pembantu dengan nilai pengabdian pada saat ini. Sebaik baik kita memperlakukan mereka dengan standard diatas rata rata pun tidak akan memberikan dampak pengabdian pada sikap dan perilaku mereka. Sebesar apapun kita memberikan apa yang mereka butuhkan, itupun tidak menjadikan pengabdian jadi focus mereka dalam melakukan pekerjaan. Serela apapun yang telah kita korbankan untuk mereka, itupun tidak akan memunculkan factor pengabdian pada apa yang mereka lakukan. Seolah olah, mereka tidak mengenal apa kata balas budi atau hutang budi. Bahkan jika kita dengan repot memikirkan bekal apa yang harus mereka dapat untuk hidup di masa yang akan datang dengan mandiri. Itupun tidak menambah adanya factor pengabdian pada segala apa yang mereka kerjakan.
Semua tetep berdasar factor ekonomi. Factor nyaman atau tidak nyaman. Factor enak atau tidak enak. Factor bisa atau tidak bisa. Factor p[antas atau tidak pantas. Tidak ada factor pengabdian yang tulus dalam mereka melakukan pekerjaannya. Atau, apakah itu salah satu cara mereka menunjukkan bahwa mereka masih mempunyai eksistensi diri dan tempat dalam kehidupan ini. Sehingga jika factor pengabdian masuk dalam hidup mereka, seolah olah hidup mereka sudah diambil oleh majikan.
Tentu saja apa yang aku tulis masih dalam scope sempit, yaitu masalah dengan keberadaan pembantu rumah tangga di masa modern ini.
Ada beberapa kasus lain, dimana pengabdian masih mendapatkan tempat nomor satu dalam kehidupan ini. Namun, aku ingin memfokuskan pada satu hal saja untuk saat ini, yaitu pembantu rumah tangga. Obyek yang aku hadapi sehari hari, dan kadang menjadi masalah yang cukup penting dalam kegiatan harianku.
Kadang aku menjadi frustasi, apakah aku sebaiknya menjadi seorang nyonya rumah biasa saja. Seperti kebanyakan nyonya rumah yang menjadikan pembantu mereka adalah benar benar pembantu. Tanpa susah susah memikirkan apa yang akan menjadi bekal hidup mereka di masa mendatang. Mengingat kelakuan pembantu yang selalu membuat diriku susah. Menyesalkah aku karena aku pernah menyekolahkan mereka hingga tamat. Mengikutkan kursus mereka. Memberikan bekal materi yang cukup. Mencarikan mereka tempat kerja yang kemudian ditolak mentah mentah.
Kadang penyesalan cukup penting untuk mengurangi beban pikiran yang ada karena telah bertindak cukup manusiawi buat mereka, para pembantu. Yang kemudian akan berbuntut dengan pemikiran, ya sudahlah, biarlah aku memperlakukan mereka memang sebagai pembantu. Sebagaimana layaknya pembantu. Dan tidak perlu memberikan suatu yang dapat menjadi suatu ikatan batin di masa datang.
Perlakukan mereka sebagai pembantu. Itu saja. Daripada kemudian aku frustasi di masa datang karena seolah olah tidak ada gunanya aku memberikan begitu banyak bekal untuk mereka. Memang aku tidak berhak mengarahkan hidup mereka di masa depan. Memang tidak. Aku tidak punya hak atas masa depan mereka. Walaupun maksud baik ada dibalik semua itu. agar mereka tidak selamanya jadi pembantu rumah tangga.
Percuma aku selama beberapa tahun terakhir ini susah payah memikirkan bekal untuk masa depan mereka. Karena mereka sendiri tidak pernah memikirkan hal tersebut. Sekali lagi, tidak ada factor pengabdian dalam apa yang mereka kerjakan. Semuanya hanya berdasar factor pekerjaan. Pekerjaan. Dan pekerjaan.
Sekarang ini, sepertinya aku ingin menghentikan semua perbuatanku dalam membantu orang orang kecil yang bersusah payah untuk membayar uang sekolah mereka. Percuma. Dan tidak berguna. Sepertinya aku akan menghentikan semua donasiku untuk uang sekolah anak anak tidak mampu. Mereka hanya akan menganggap aku seperti mesin uang yang memang sudah selayaknya mengucurkan uangnya. Mereka tidak berpikir bahwa aku dengan susah payah menyisihkan sebagian dana untuk hal hal seperti itu. bahwa aku bahkan merelakan hal hal lain yang seharusnya bisa aku dapatkan dari dana yang aku sisihkan tersebut. Bahwa jika uang tersebut aku kumpulkan sendiri saja sejak beberapa tahun lalu, pasti sudah lumayan simpanan uangku, daripada aku hambur hamburkan untuk mereka. Bahwa jika uang itu aku pergunakan untuk hal hal lain di keluarga, akan menampakkan wujud yang lebih bermanfaat. Sepertinya aku sekarang berada dalam batas titik nadir, dimana aku hanya seperti menaburkan garam di laut. Tidak ada gunanya. Tidak ada bekasnya. Percuma. Sia-sia.
Sejujurnya aku tidak pernah mengharapkan imbalan apapun dan dalam bentuk apapun untuk semua yang kulakukan. Tapi melihat kelakuan mereka semua, aku menyesal. Mungkin aku terlalu memasukkan perasaan “orang Jawa” dalam melihat orang lain. Sehinggal hal hal yang menurutku seharusnya begini seharusnya begitu juga aku terapkan kepada orang lain. Dan aku tidak menyadari bahwa setiap orang dari daerah yang berlainan sangat berbeda dalam memandang suatu tindakan.
Mungkin aku akan menjadi orang lain saja. Mungkin aku tidak usah menyusahkan diri sendiri demi membantu orang lain. Mungkin lebih baik aku pergunakan uangku untuk hal hal yang lebih berguna. Mungkin aku terlalu ambisius dalam membantu orang lain.
Namun, bisakah aku menghentikan begitu saja semua itu? mungkin aku harus memberitahukan secara perlahan, supaya mereka mencari orang lain dalam waktu dekat. Aku ingin menyenangkan diriku sendiri saat ini. Tidak mengalahkan hal hal kesenanganku hanya untuk orang lain. Yang bahkan mungkin orang lain tidak pernah memikirkan hal tersebut.
Aku ingin jadi orang yang tidak perduli dengan mereka. Toh semua orang sudah mendapat jalannya dan arahnya dari Tuhan. Jadi bukan hakku untuk membantu mengubah hidup mereka.
Aku ingin jadi orang biasa saja. Yang membantu orang sebisa aku. Yang membantu orang dikala aku bisa dan mau saja. Tanpa perlu bersusah payah mengalokasikan dana dana untuk pos lain dan mengalihkannya pada mereka.
Aku saat ini benar benar dalam keadaan menyesal menjadi orang yang terlalu sok baik hati. Hanya karena kelakuan para pembantu yang membuatku sedih. Karena mereka aku jadi ingin mengubah seluruh pandanganku terhadap orang kecil. Ternyata mereka semua memang mentalnya sudah terbentuk seperti itu. tidak akan pernah berubah.
Monday, December 20, 2004
WE' RE BACK
Akhirnya setelah selama 15 tahun kita menunggu suatu prestasi yang agak nyata, marching band ugm kembali dapat naik ke posisi 3 besar pada GPMB XXI tahun 2004. memang tidak mudah, karena membutuhkan perjuangan yang berat baik fisik maupun mental. Apalagi setelah beberapa kali GPMB kita hanya berada di urutan 3 terbawah.
Namun ternyata absennya UGM tahun lalu pada untuk melakukan instropeksi akan tim dan kekuatannya, ternyata mendapatkan imbalan yang cukup membanggakan.
Tidak sia sia para alumni mb-ugm tak henti hentinya memberikan spirit dan dorongan bahkan lecutan untuk mereka agar tidak memalukan almamater.
Tantangan untuk MENANG, atau TIDAK USAH MAIN SAMA SEKALI, memberikan lecutan yang berarti, hingga mereka menghasilkan materi yang cukup lumayan.
Namun kita juga sadar, beban berat para pemain yang rata rata adalah mahasiswa yang direcoki dengan biaya spp yang mahal, sehingga mereka tidak boleh main main dalam tiap semesternya, memang merupakan pilihan pisau bermata dua.
Jadi memang, masing masing pemain harus pandai pandai menyiasati tugas kuliah dan tugas berlatih dengan amat sangat. Atau salah satunya akan dikorbankan.
Sebagai salah satu eks anggota mb ugm, melihat adik adik bermain dengan cukup bagus, rasanya, seperti melihat kembali ugm di masa lalu. Yang penuh dengan kreatifitas, walaupun yang sekarang ini belum sekreatif di masa lalu, mengingat latar belakang pergaulan mahasiswa sekarang juga sangat sangat berbeda dengan masa 15 atau 20 tahun yang lalu. Yang sangat miskin informasi dan komunikasi.
Namun bagaimanapun, kita sudah cukup lega, dapat duduk kembali ke 3 besar. Tinggal perjuangan ke depan, salah satu target adalah mengalahkan MB UI.
Hymne UGM, yang kemaren kami nyanyikan bersama sama dengan adik adik pemain, ternyata masih cukup ampuh untuk membuat bulu kudukku merinding. Terharu.
Ternyata UGM masih cukup layak untuk menjadi salah satu yang tercinta dalam hidupku.
BAKTI KAMI MAHASISWA GADJAH MADA SEMUA
KUBERJANJI MEMENUHI PANGGILAN BANGSAKU
DI DALAM PANCASILA MU JIWA SELURUH NUSAKU
KUJUNJUNG KEBUDAYAANMU
KEJAYAAN INDONESIA
Namun ternyata absennya UGM tahun lalu pada untuk melakukan instropeksi akan tim dan kekuatannya, ternyata mendapatkan imbalan yang cukup membanggakan.
Tidak sia sia para alumni mb-ugm tak henti hentinya memberikan spirit dan dorongan bahkan lecutan untuk mereka agar tidak memalukan almamater.
Tantangan untuk MENANG, atau TIDAK USAH MAIN SAMA SEKALI, memberikan lecutan yang berarti, hingga mereka menghasilkan materi yang cukup lumayan.
Namun kita juga sadar, beban berat para pemain yang rata rata adalah mahasiswa yang direcoki dengan biaya spp yang mahal, sehingga mereka tidak boleh main main dalam tiap semesternya, memang merupakan pilihan pisau bermata dua.
Jadi memang, masing masing pemain harus pandai pandai menyiasati tugas kuliah dan tugas berlatih dengan amat sangat. Atau salah satunya akan dikorbankan.
Sebagai salah satu eks anggota mb ugm, melihat adik adik bermain dengan cukup bagus, rasanya, seperti melihat kembali ugm di masa lalu. Yang penuh dengan kreatifitas, walaupun yang sekarang ini belum sekreatif di masa lalu, mengingat latar belakang pergaulan mahasiswa sekarang juga sangat sangat berbeda dengan masa 15 atau 20 tahun yang lalu. Yang sangat miskin informasi dan komunikasi.
Namun bagaimanapun, kita sudah cukup lega, dapat duduk kembali ke 3 besar. Tinggal perjuangan ke depan, salah satu target adalah mengalahkan MB UI.
Hymne UGM, yang kemaren kami nyanyikan bersama sama dengan adik adik pemain, ternyata masih cukup ampuh untuk membuat bulu kudukku merinding. Terharu.
Ternyata UGM masih cukup layak untuk menjadi salah satu yang tercinta dalam hidupku.
BAKTI KAMI MAHASISWA GADJAH MADA SEMUA
KUBERJANJI MEMENUHI PANGGILAN BANGSAKU
DI DALAM PANCASILA MU JIWA SELURUH NUSAKU
KUJUNJUNG KEBUDAYAANMU
KEJAYAAN INDONESIA
Friday, December 17, 2004
KESETIAAN DAN LOYALITAS
Kesetiaan adalah sebuah kata yang bermakna sangat positif. Identik dengan loyalitas.
Loyalitas seseorang terhadap sesuatu, dapat memberikan dampak positif dan negative sekaligus kepada dirinya. Tergantung kepada bagaimana yang diyakininya itu berpengaruh kepada dirinya.
Apa jadinya jika suatu loyalitas, ternyata malah merugikan diri sendiri. Memasung kreatifitas. Mengabaikan ambisi. Mengaburkan tujuan.
Apakah lebih baik kita mengabaikan loyalitas, apabila kita sudah merasakan negatifnya efek loyalitas tersebut?
Dan kemudian kita akan disebut sebagai orang yang tidak loyal??? Tidak setia???
Pentingkah anggapan orang akan diri kita???
Mungkin kita harus berpikir ulang lagi.
Lets say,… jaman orde baru. Karena loyalnya para bawahan kepada atasannya, sehingga jadilah korupsi atasan akan tersamar, karena bawahan hanya akan mengangguk angguk. Sementara yang berusaha tidak mengikuti arus korupsi, akan dijauhi dari teman dan dijauhkan dari proyek juga. Dengan demikian, sudah tidak punya teman, tak dapat uang tambahan juga.
Itu di kalangan pegawai pemerintah.
Bagaimana di dalam suatu kehidupan sehari hari. Pentingkah kita mempertahankan loyalitas jika imbalan yang kita dapat tidak sesuai dengan loyalitas yang kita berikan.
Apakah loyalitas itu memiliki harga???
Bagaimana dengan kesetiaan?? Apakah kesetiaan juga memiliki harga???
Tentu saja.
Namun nilai masing masing berbeda. Harap dicatat. Ada hal yang tidak dapat dinilai dengan uang. Bahkan dengan uang yang milyaran rupiah pun (benarkah???)
Loyalitas seseorang terhadap sesuatu, dapat memberikan dampak positif dan negative sekaligus kepada dirinya. Tergantung kepada bagaimana yang diyakininya itu berpengaruh kepada dirinya.
Apa jadinya jika suatu loyalitas, ternyata malah merugikan diri sendiri. Memasung kreatifitas. Mengabaikan ambisi. Mengaburkan tujuan.
Apakah lebih baik kita mengabaikan loyalitas, apabila kita sudah merasakan negatifnya efek loyalitas tersebut?
Dan kemudian kita akan disebut sebagai orang yang tidak loyal??? Tidak setia???
Pentingkah anggapan orang akan diri kita???
Mungkin kita harus berpikir ulang lagi.
Lets say,… jaman orde baru. Karena loyalnya para bawahan kepada atasannya, sehingga jadilah korupsi atasan akan tersamar, karena bawahan hanya akan mengangguk angguk. Sementara yang berusaha tidak mengikuti arus korupsi, akan dijauhi dari teman dan dijauhkan dari proyek juga. Dengan demikian, sudah tidak punya teman, tak dapat uang tambahan juga.
Itu di kalangan pegawai pemerintah.
Bagaimana di dalam suatu kehidupan sehari hari. Pentingkah kita mempertahankan loyalitas jika imbalan yang kita dapat tidak sesuai dengan loyalitas yang kita berikan.
Apakah loyalitas itu memiliki harga???
Bagaimana dengan kesetiaan?? Apakah kesetiaan juga memiliki harga???
Tentu saja.
Namun nilai masing masing berbeda. Harap dicatat. Ada hal yang tidak dapat dinilai dengan uang. Bahkan dengan uang yang milyaran rupiah pun (benarkah???)
Wednesday, December 08, 2004
Senyum untuk sebuah pertanyaan seorang anak lelaki berumur 4 tahun
Tiba tiba saja, anakku yang berumur 4 tahun menanyakan sesuatu hal yang membuat aku tersenyum. Walaupun itu pertanyaan yang mempunyai esensi sama dengan pertanyaan pertanyaan dia sbelumnya tentang beda seorang perempuan dan laki laki.
Namun macam pertanyaan dia kali ini agak mengejutkan.
" Bu, kenapa titit dinda dipotong sama pak dokter?"... (ha?!!!) "Memang kenapa mas?"... "itu dinda kan titit e ndak ada, kan dipotong sama pak dokter".
Hhh gimana ya cara menjelaskannya?
mmm... palingan aku cuma bisa menjawab gini.." bukan dipotong mas... tapi ya memang itu bedanya. mas perampuan apa laki laki?"
"laki-laki" terus..."dinda perempuan apa laki laki?"... "perempuan"
Nah itulah... makanya titit dimas dan dinda beda.
Sebenarnya ada banyak pertanyaan, seperti misalnya: "bu dinda kok pipisnya beda?"..."aku berdiri dinda kok jongkok"..
dan... jawaban yang kuberikan juga tidak jauh beda dengan yang diatas...
Namun ada akibatnya saat si adik dengar pertanyaan seperti ini... karena ia kemudian kalau pipis jadiikut ikutan berdiri.. seperti kakaknya..... :) (tidak mau kalah)
Namun macam pertanyaan dia kali ini agak mengejutkan.
" Bu, kenapa titit dinda dipotong sama pak dokter?"... (ha?!!!) "Memang kenapa mas?"... "itu dinda kan titit e ndak ada, kan dipotong sama pak dokter".
Hhh gimana ya cara menjelaskannya?
mmm... palingan aku cuma bisa menjawab gini.." bukan dipotong mas... tapi ya memang itu bedanya. mas perampuan apa laki laki?"
"laki-laki" terus..."dinda perempuan apa laki laki?"... "perempuan"
Nah itulah... makanya titit dimas dan dinda beda.
Sebenarnya ada banyak pertanyaan, seperti misalnya: "bu dinda kok pipisnya beda?"..."aku berdiri dinda kok jongkok"..
dan... jawaban yang kuberikan juga tidak jauh beda dengan yang diatas...
Namun ada akibatnya saat si adik dengar pertanyaan seperti ini... karena ia kemudian kalau pipis jadiikut ikutan berdiri.. seperti kakaknya..... :) (tidak mau kalah)
Labels:
dimas
Saturday, December 04, 2004
TAHU KUPAT MAGELANG
Tahu kupat setahuku hanya ada di kota Magelang. dan hanya tahu kupat warung pojok yang aku tahu sejak aku kecil. Saat aku melakukan perjalanan semarang purworejo ke tempat nenek, tahu kupat magelang menjadi langganan untuk jajan dan jadi tempat yang menjadi favoritku bahkan sampai saat ini. Dan hanya di warung pojok itulah aku selalu membeli tahu kupat, ditempat lain di magelang?... tidak pernah.
Memang ada sih di Jakarta, di daerah Lebak Bulus dan ada cabangnya di daerah jalan saharjo, tapi berani taruhan? Pasti tidak seenak tahu kupat warung pojok Magelang.
Tahu kupat adalah makanan sejenis… apa ya?.. yang pasti terdiri dari ketupat, tahu putih yang digoreng diberi tauge diatasnya dan kemudian disiram dengan bumbu kacang yang agak encer. Bumbunya? Jangan Tanya. Aku tidak tahu. Tidak lupa taburan bawang goreng. Mmm yummi. Tentu saja panas, karena dia menggoreng tahunya hanya kalau ada pengunjung yang memesan. (mungkin ada yang hampir seperti itu di beberapa daerah lain, namun materinya pasti tidak sama, dan tentu saja aku yakin sekali, rasanya pasti berbeda jauh.
Hmmm… kangennya aku makan tahu kupat di warung pojok itu. sayang sekali, kemarin mudik tidak bisa merasakan kenikmatannya. You know why? Saat aku tiba di sana, tahu kupatnya………….. HABIS.
Kasihan ya? Kemecernya sudah sejak berangkat mudik, eh ternyata gagal total.
Akhirnyalah sampai sekarang masih terbayang terus tahu kupat warung pojok di Magelang itu.
Memang ada sih di Jakarta, di daerah Lebak Bulus dan ada cabangnya di daerah jalan saharjo, tapi berani taruhan? Pasti tidak seenak tahu kupat warung pojok Magelang.
Tahu kupat adalah makanan sejenis… apa ya?.. yang pasti terdiri dari ketupat, tahu putih yang digoreng diberi tauge diatasnya dan kemudian disiram dengan bumbu kacang yang agak encer. Bumbunya? Jangan Tanya. Aku tidak tahu. Tidak lupa taburan bawang goreng. Mmm yummi. Tentu saja panas, karena dia menggoreng tahunya hanya kalau ada pengunjung yang memesan. (mungkin ada yang hampir seperti itu di beberapa daerah lain, namun materinya pasti tidak sama, dan tentu saja aku yakin sekali, rasanya pasti berbeda jauh.
Hmmm… kangennya aku makan tahu kupat di warung pojok itu. sayang sekali, kemarin mudik tidak bisa merasakan kenikmatannya. You know why? Saat aku tiba di sana, tahu kupatnya………….. HABIS.
Kasihan ya? Kemecernya sudah sejak berangkat mudik, eh ternyata gagal total.
Akhirnyalah sampai sekarang masih terbayang terus tahu kupat warung pojok di Magelang itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)