"BU... BUTUH TRI IN WAN?"
Beberapa hari yang lalu, sore hari saat sedang parkir sebentar di suatu toko, seorang anak usia belasan tahun mendekati aku, dan menanyakan apakah aku butuh 3 in 1. Kemudian aku balik tanya, memang kenapa? Karena aku tahu ini orang pasti ndak biasa jadi joki, karena kalau biasa jadi joki, dia pasti tidak di tempat tersebut.
Dia menjawab, bahwa dia mau pulang tapi tidak ada uang. Jadi dia berharap, dengan jadi joki, dia bisa pulang. Kemudian aku tanya tempat tinggalnya, dia bilang di daerah Parung Panjang Bogor. Lah?,.. terus kenapa bisa sampai ke sini?.. dan berceritalah dia bahwa dia disuruh pulang gurunya karena belum melunasi uang spp untuk 3 bulan, dan dia pamit pulang ke rumah orang tuanya kepada gurunya. Tapi, karena dia yakin pasti belum ada uang untuk spp nya, maka dia nekat ke Jakarta, untuk mencari uang dengan caranya sendiri. Dan dia memang membawa berkas-berkas lengkap sekolahnya bahkan sampai copy kartu keluarganya. Dia berharap ada yang berbelas kasihan untuk membantunya membayar spp 3 bulan itu.
Aku begitu tersentuh. Coba detik itu aku ada uang lebih di dompet ku, pasti aku akan bantu. Namun aku sendiri bener bener lagi hemat, jadi aku ndak bisa bantu dia. Akhirnya hanya aku beri ongkos secukupnya untuk dia pulang ke parung panjang setelah aku tanya berapa ongkos total dia ke rumahnya. Aku wanti wanti supaya pulang saja ke rumah. Siapa tahu orang tuanya bisa cari jalan lain.
…
Memikirkan hal tersebut, aku merasa sangat tidak dapat menerimanya. Negara tidak memikirkan kondisi anak anak usia sekolah yang keadaan keuangan keluarganya dalam keadaaan minim. Yang bahkan bisa terjadi ada anak yang disuruh keluar sekolah oleh orang tuanya karena tidak sanggup bayar uang sekolah.
Memang, aku juga menyadari bahwa anak adalah tanggung jawab orang tua. Adalah kewajiban orang tua agar anak dapat menerima hak nya. Namun sebagaimana kita ketahui, keadaan ekonomi Indonesia benar benar sangat terpuruk sejak tahun 1998.
AKU BENAR BENAR TIDAK DAPAT MENERIMA, jika masih ada sebagian besar orang yang menghambur hamburkan uangnya untuk hal yang tidak perlu. Apalagi untuk urusan politik dan kekuasaan. Karena secara nyata sekali, banyak sekali anak sekolah yang kesulitan membayar uang sekolah yang bahkan hanya 20 ribu per bulan.
Tiba-tiba aku teringat ada sayembara berhadiah yang diadakan oleh Yayasan IMM dengan hadiah bea siswa pendidikan untuk 1500 an anak dengan total nilai 14,1 milyar rupiah. Yang banyak dijadikan kontroversi, apakah itu merupakan kampanye atau murni bertujuan membantu.
Sebenarnya, kalau yayasan itu memang hanya bertujuan memberi bea siswa, kan dia ndak usah itu bikin sayembara segala. Dia bikin aja daftar sekolah yang muridnya dari keluarga yang kekurangan. Cukup dia penuhi aja pemenuhan uang sekolah masing masing anak untuk setahun. Paling satu anak ndak bakalan sampe 1 juta setahun.
Jadi kan jumlah anak yang dibantu bisa lebih banyak. Dan lebih mengena ke sasaran.
Daripada pakai kuis yang berasal dari naskah Indonesia Bangkit yang notabene merupakan gambaran kampanye hasil pemerintahan selama megawati menjadi presiden.
Mana yang ikut kuis tersebut juga paling keluarga yang tidak miskin, karena peserta harus menyertakan nomor telepon. Mana ada orang miskin punya telepon.
Yang pasti banyak hal yang mengherankan dalam pengadaan sayembara Indonesia bangkit tersebut.
Back to the real life, kenapa tidak semua orang yang berkecukupan terketuk untuk membantu pendidikan anak anak yang kurang mampu ya?.
Pastilah tidak akan banyak anak usia sekolah dasar berkeliaran di perempatan jalan, di terminal sambil bawa kecrekan, di krl Jakarta bogor, dan tempat tempat lain, seperti yang sekarang ini nampak di kota kota besar.
Yang penting menurutku adalah niat. NIAT. Niat untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Itu saja.
No comments:
Post a Comment