Waduh...
dapat informasi dari group FB, bakalan ada reriungan LKers besok tanggal 1 September 2012, di CCF , Jalan Purnawarman, Bandung, tentu saja malam hari lah.
Kabarnya Leo Kristi bakalan tampil, bersama dara dara cantik dari Sunda tea.... Malah mas Mung dari Surabaya akan terbang ke Bandung juga. Kira kira komplit kayak konser kemarin ndak ya?....
Ada mbak Titi ... ada mas Ote... mas siapa lagi ya?? .. ah ya... mas Beduger yang cool abissss..... yang pasti ndak ada mbak cecil lah... kan dah move ke luar negeri.....
Semoga acaranya lancar deh.....
Hiikz...
Bisakah saya hadir ke sana?... mengingat jadwal kerja sudah terbayang di depan mata, masuk hutan Kalimantan Tengah dalam waktu dekat. Positif, ndak bisa ikutan reriungan LKers. Tiket pesawat sudah di tangan.... hik!...
.....
Duh Gusti, que serra serra deh..... apa yang terjadi terjadilah
Bahkan jika aku ndak bisa ke Bandung, itu namanya nasib.
...
Sedih, itu pasti. Apalagi tidak bisa bertemu teman teman LKers yang asik asik itu.
....
Siapa bilang tidak kurindu
Kurindu juga tetapi jauh
...
Berharap masih ada event selanjutnya dari LKers maupun KRLK, mengingat komuniti ini telah memberikan kehangatan di hati.....
Monday, August 27, 2012
Saturday, August 18, 2012
Kemandegan Emosi
Saya baru menyadari, bahwa kestabilan dan dinamika emosi mempengaruhi daya hidup. Iya. Benar. Saat ini kondisi emosi saya sedang jalan di tempat. Tidak ada greget maupun sensasi yang membuat emosi saya naik turun. Rasanya, kok plain banget hidup ini. Ndak seru. Semua berjalan seperti yang jarum jam yang berputar seperti seharusnya. Dari angka 1, 2 dan lanjut sampai 12 kembali ke angka 1 lagi.
Ingin rasanya ada emosi yang membuat hidup ini penuh dinamika. Ada gairah, ada emosi, ada tantangan, ada keluh, ada kesah, ada hasrat.
Kemandegan emosi yang terjadi pada diri saya saat ini, membuat saya jadi orang yang apatis. Baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Hambar. Saya yang biasa disebut impulsif oleh salah seorang teman, sekarang jadi saya yang plain. datar. dan tidak menyenangkan. Ndak ada geregetnya babar blasss.
Andai, ada tenaga yang dapat membuat emosi saya berjalan lagi. Alangkah indahnya hidup ini.
Mungkin ini sesi hidup yang harus saya lakoni. Mandeg. Henti. dan Merenung.
Ingin rasanya ada emosi yang membuat hidup ini penuh dinamika. Ada gairah, ada emosi, ada tantangan, ada keluh, ada kesah, ada hasrat.
Kemandegan emosi yang terjadi pada diri saya saat ini, membuat saya jadi orang yang apatis. Baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Hambar. Saya yang biasa disebut impulsif oleh salah seorang teman, sekarang jadi saya yang plain. datar. dan tidak menyenangkan. Ndak ada geregetnya babar blasss.
Andai, ada tenaga yang dapat membuat emosi saya berjalan lagi. Alangkah indahnya hidup ini.
Mungkin ini sesi hidup yang harus saya lakoni. Mandeg. Henti. dan Merenung.
Monday, August 13, 2012
Regenschaft Leisela di Pulau Buru - Pulau Buru (3 - tamat)
Tulisan di bawah adalah uraian tentang keberadaan kesatuan adat di Pulau Buru, hasil tulisan saya pada salah satu sub bab dalam laporan untuk The Borneo Initiative, yang diambil dari berbagai sumber literatur terkait kondisi Pulau Buru, salah satunya adalah "Mapping Buru: The Politics of Territory and Settlement on an Eastern Indonesian Islan" tulisan Barbara Dixed Grimm, dan "Legenda Tit Afu oleh E.M. Solisa.
---
Penduduk asli
Pulau Buru pada mulanya berdiam di daerah pedalaman, yang meliputi pegunungan,
perbukitan dan lembah. Namun secara berangsur sebagian diantaranya mulai
bermukim di pesisir. Terdapat sebutan lain penduduk pesisir untuk penduduk asli
Buru yang masih tinggal di pegunungan, yaitu masyarakat alifuru[1]
Masyarakat adat
Pulau Buru menganggap bahwa seluruh lahan yang ada di Pulau Buru adalah milik
hak masyarakat adat setempat secara komunal. Kepemilikan yang ada didasarkan
pada kesamaan soa atau marga dan kesepahaman masyarakat adat tentang batas hak
ulayat masing masing soa atau marga.[2]
Menurut H. Djafar
Wael, secara umum soa pada masyarakat adat Buru terbagi atas dua, yaitu
noropito dan noropa (noro = marga, pito = tujuh, pa = empat). Noropito merupakan soa yang asli di Pulau
Buru. Sedangkan noropa merupakan soa pendatang yang terdiri dari empat soa. Soa
pendatang ini berasal dari Ternate, Madura, Kolamsusu (Buton) dan Tasijawa
(Jawa). Sementara Noropito terdiri dari tujuh soa. Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, sejarah awal munculnya tujuh soa diawali oleh lahirnya
tujuh anak dari sepasang suami istri yang di kemudian hari menjadi cikal bakal
munculnya tujuh soa asli di Pulau Buru ini. Ketujuh soa asli Pulau Buru yaitu:
Hain, Waitemu, Waeula, Kakhana, Gewagi, Watnerang dan Waehiri. Ketujuh soa asli
Buru ini dipimpin oleh Taksodin yang berasal dari Soa Waehiri. Sedangkan empat
Soa pendatang (Noropa) dipimpin oleh Hinolong dari Soa Baman dan bertempat di
Wayapo.
Pada awalnya
kedua kelompok soa tersebut, baik asli maupun pendatang merupakan masyarakat
yang menempati daerah pegunungan (alifuru). Namun kemudian ketujuh soa asli
mengutus salah satu soa, yaitu Waehir (Wael) menuju pesisir untuk menjadi raja.
Tujuan dari dipilihnya soa Waehiri sebagai raja ini adalah agar yang
bersangkutan dapat menempuh pendidikan dan memimpin masyarakat adat.
Masyarakat adat
Buru membagi ruang di wilayahnya atas tiga bagian[3] yaitu: Pertama adalah kawasan yang dilindungi karena
nilai kekeramatannya. Yang termasuk
wilayah keramat adalah Gunung Date (kaku
Date), Danau Rana (Rana Waekolo)
dan tempat yang keramat di hutan primer (koin
lalen); Kedua adalah kawasan yang diusahakan meliputi pemukiman (humalolin dan fenalalen), kebun (hawa), hutan berburu atau meramu (neten emhalit dan mua lalen), hutan kayu putih (gelan
lalen) dan tempat memancing (wae
lalen); Ketiga adalah kawasan yang tidak diusahakan, meliputi bekas kebun (wasi lalen) dan padang alang-alang (mehet lalen).
Menurut penduduk
asli Pulau Buru, air Danau Rana berasal dari Gunung Date, untuk itulah wilayah Gunung
Date tersebut harus dijaga sebagai wilayah yang sakral. Gunung dan air adalah sumber kehidupan Orang Bupolo, sehingga perlu dijaga
dengan tatanan adat yang kuat. Kepercayaan ini dinyatakan dengan adanya
struktur Matgugul sebagai penjaga
Danau Rana dalam tatanan masyarakat adat Leisela. Mereka menerapkan aturan
bahwa Gunung Date dan Danau Rana harus dijaga dari adanya pengaruh orang luar, dengan
diberlakukannya larangan membawa orang luar mengunjungi dan melintasi Gunung Date.
Aturan tersebut ditunjang dengan adanya struktur Seged sebagai pos penghubung dari pesisir ke dataran Danau Rana.
Disamping kuatnya
kepercayaan masyarakat adat Pulau Buru tentang keberadaan tanah leluhur yang
disakralkan, keberadaan masyarakat adat Pulau
Buru tidak dapat dilepaskan dari adanya tinggalan pemerintah Belanda di masa
lalu yang membagi Pulau Buru dalam beberapa regentschap[4]. Dasar pembentukan regentschap itu sendiri
tidak terlepas dari keberadaan Petuanan pada masing masing wilayah di Pulau
Buru[5]. Keberadaan Regentschap
memiliki sejarah yang panjang, karena bermula saat VOC mulai menguasai wilayah
timur Indonesia. Pembentukan Regentschap oleh VOC ditujukan untuk mempermudah
pengawasan VOC secara administratif dan politik di Pulau Buru. Pola
pemerintahan yang ada di Pulau Buru sejak beberapa menjadi wilayah vassal dari
Portugis hingga saat VOC dibentuk regenctschap dan kemudian sampai saat ini
dalam bentuk pemerintahan kabupaten, ternyata konsep petuanan tetap berlaku
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Struktur fungsional dan sosial petuanan
tetap dipercaya oleh masyarakat dalam menyelesaikan beberapa masalah yang
timbul dalam kehidupan masyarakatnya.
Informasi yang
didapat dari data sejarah VOC dari lembar Staatblad no.19A, sedikit berbeda
dari cerita yang ada pada masyarakat adat Buru. Menurut informasi sistem
pemerintahan di Buru pada masa lalu, dikenal pula istilah pemerintahan 12 Raja
Pati yang berpusat di Kayeli. Kedua belas Raja Pati ini adalah: Masarete,
Waesama, Kayeli, Liliani, Tagalisa, Leisela, Wamlana, Fogi, Palumata, Lumaiti,
Mahu dan Wailnusa. Dari kedua belas Raja Pati tersebut, hanya tersisa 8 Raja
Pati yaitu Masarete, Waesama, Kayeli, Liliani, Tagalisa, Leisela, Wamlana dan
Fogi. Keempat lainnya musnah, karena ketiadaan warga dari 4 Raja Pati tersebut.
Kedelapan Raja Pati yang ada kemudian berpindah ke daearahnya masing masing
dari Kayeli. [6]
Area kerja PT.
GHL masuk dalam wilayah petuanan Leisela. Petuanan Leisela sendiri luasnya
hampir 2/3 Pulau Buru. Disamping petuanan Leisela beberapa petuanan lain yang masih ada saat
ini adalah adalah Petuanan Tagalisa
(wilayah Waplau), Liliali (wilayah Namlea), Kayeli (wilayah Waiapu) dan
Masarete[7].
Menurut Plt Raja
Leisela, wilayah Petuanan Leisela terletak memanjang dari barat ke timur dari
Tanjung Waeikan sampai dengan Waemase, dan dari selatan ke utara meliputi Kali
Waemala sampai Teluk Kayeli. Menurut informasi, terdapat 24 soa di wilayah Petuanan Leisela saat ini.
Keberadaan raja sebagai tokoh yang dianggap mengepalai suatu petuanan, tidak
terlepas dari campur tangan VOC di masalalu. Pengangkatan raja sebagai penguasa
regentschap merupakan suatu cara untuk mengikat para petuanan untuk tetap dalam
penguasaan VOC.
Secara internal
struktur sosial masyarakat adat Buru yang ada di dalam Petuanan Leisela masih
mengacu pada struktur yang dipercayai dan diyakini oleh penduduk asli P. Buru.
Secara garis besar, dapat dikatakan terdapat dua struktur yang diyakini masih
berjalan di wilayah Leisela, yaitu struktur Petuanan dan struktur Soa. Struktur
sosial yang ada masyarakat adat Leisela dilihat dari segi kewilayah adat yang
mencakup pesisir sampai dengan Danau Rana. Danau Rana dianggap sebagai danau
pusat masyarakat adat Buru berasal. Daerah di sekitar Danau Rana merupakan
wilayah yang sakral dan harus dijaga dengan baik. Dalam pemahaman masyarakat
adat Buru, terdapat ikatan yang kuat antara soa dan wilayah adat (neten). Setiap anggota soa adalah
pemelihara wilayah soa mereka (geba neten
duan). Tokoh adat masing-masing soa memahami batas wilayah masing-masing
soa, yang biasanya dibatasi dengan topografi wilayah, misalnya: lembah sungai,
sungai, pegunungan, batuan atau bentuk bentuk topografi lain.
Secara umum
sistem organisasi kemasyarakatan pada penduduk asli Buru terdiri dari Kepala
Soa, Kepala Adat dan Raja. Kepala Soa mengepalai suatu Soa, Kepala Adat
mengepalai semua Soa, serta Raja sebagai penguasa tertinggi Adat dan wilayah
Petuanan.
Fungsi Kepala Soa
adalah mengatasi segala persoalan atau permasalahan baik menyangkut adat maupun
persoalan sosial lainnya dalam lingkungan marganya. Kepala Soa diangkat
berdasarkan keturunan. Biasanya yang diangkat sebagai Kepala Soa adalah anak
pertama laki-laki. Upacara pengangkatan Kepala Soa dipimpin oleh Kepala Adat.
Wilayah tempat tinggal Kepala Soa adalah dusun yang yang merupakan bagian dari
desa.
Kepala Adat
berfungsi untuk mengatasi permasalahan di semua marga yang mana persoalan
tersebut tidak dapat diselesaikan oleh Kepala Soa. Disamping itu, Kepala Adat
juga berfungsi sebagai pemimpin adat, diantaranya upacara pengangkatan Kepala
Soa, pernikahan, dll. Kepala adat juga diangkat berdasarkan keturunan. Upacara
pengangkatan Kepala Adat dipimpin oleh Raja. Wilayah tempat tinggal kepala adat
adalah desa.
Raja sebagai
pemimpin adat dan wilayah Petuanan di Pulau Buru, bertugas menangani dan
mengatasi segala persoalan adat di wilayahnya dalam lingkup luas. Segala
persoalan tingkat kepala soa dan kepala adat, jika tidak dapat diselesaikan,
maka dibawa kepada Raja untuk diselesaikan. Raja diangkat berdasarkan
keturunan, yakni anak pertama dari Raja.
Adapun pada
wilayah Petuanan Leisela, dalam struktur pemerintahan adatnya, dikenal dengan
istilah Leisela Tanggar Telo (tiga
tingkat), yang strukturnya dapat dideskripsikan sebagai berikut:
I
|
Raja,
berasal dari marga Hentihu
- Henolong, berasal dari marga Fua
- Bupator Pito (7 Kepala Soa), yang
terdiri dari:
a. Fua
b. Tifu
c. Hentihu
d. Warnangan
e. Wamnebo
f.
Gibrihi
g. Waili Tomlin
|
|
II
|
Seged Natan Roa
Seged bertugas sebagai
penghubung daerah pesisir ke Danau Rana.
Sesuai dengan yang menjadi
kepercayaa leluhur, Seged bertugas
pada dua wilayah yaitu sebelah timur dan sebelah barat.
|
|
Barat
-
Fanabo/Tasijawa
|
Timur
-
Waili/
Lehalima
|
|
III
|
Bumilale (Dataran Rana)
Yang menjaga dataran Rana
adalah Mat Gugul[8].
Terdapat dua jabatan Matgugul di tingkat ini, yakni Matgugul wilayah barat
dan Matgugul wilayah timur.
Matgugul memiliki pembantu
yang disebut Portelo dengan tugas mengkoordinir soa –soa yang ada di bawah
wewenang Matgugul.
|
|
Barat
Jabatan Matgugul dipegang oleh Soa Waikolo
4 soa yang ada di bawah Matgugul Waikolo adalah;
-
Waidupa
-
Minggodo
-
Walpangat
-
Marmaho
|
Timur
Jabatan Matgugul dipegang oleh Soa Nalbesi
4 soa yang ada di bawah Matgugul Nalbesi adalah:
-
Wae
eno
-
Walumama
-
Kafafa
-
Wanoso
|
Keberadaan soa yang cukup banyak di
wilayah adat Leisela sendiri ternyata tidak menimbulkan gesekan antar soa.
Dalam masing-masing soa terdapat struktur
yang sudah terbentuk dari awal.
Dalam struktur internal soa/marga, terdapat beberapa jabatan sebagai
berikut:
-
Kepala soa, yang mengepalai suatu soa, dipilih atas
kesepakatan tokoh tokoh soa. Kepala Soa
berfungsi untuk mengatur segala persoalan yang berkaitan dengan warga dalam
suatu soa. Baik persoalan kemasyarakatan maupun persoalan adat.
-
Porisi adalah salah satu jabatan dalam struktur soa yang
bertugas menyelesaikan masalah yang timbul dalam soa dan tidak dapat
diselesaikan internal oleh masing-masing kepala soa yang bermasalah.
-
Kawasan adalah salah satu jabatan yang dapat disejajarkan
dengan kepala dusun. Dalam satu soa, biasanya terdapat 5 mata ruma. Kawasan
biasanya yang mengetahui segala sesuatu urusan dalam soa yang bersangkutan.
Selain itu tugas kawasan yang lain adalah membantu kepala soa.
-
Marinjo adalah salah satu jabatan dengan tugas
menyebarkan undangan jika akan ada satu kegiatan, atau menyebarkan informasi
kepada masyarakat adat.
-
Gebopuji bertugas sebagai imam dengan tugas menjaga
tempat-tempat yang sakral.
Setiap soa
terdiri dari beberapa mata rumah. Masing masing mata rumah sudah memiliki
pembagian tugas sendiri-sendiri sesuai pembagian sejak generasi awal dalam
suatu marga sebagaimana tertuang pada gambar di atas. Secara turun temurun anggota mata rumah akan
mewarisi tugas dan tanggung jawab yang sama dengan pendahulunya.[9]
[1] Artinya “orang balakang” atau masyarakat
terbelakang. Hal ini dikarenakan penduduk yang tinggal di pegunungan atau
dataran tinggi di pedalaman Pulau Buru kehidupannya masih sangat sederhana dan
terbelakang.
[2] Penggunaan Soa atau marga untuk penyebutan
kelompok masyarakat adat tertentu di wilayah Indonesia Timur. Untuk selanjutnya
akan digunakan istilah soa sebagai istilah yang cukup popular dalam
penyebutan marga di masyarakat adat Buru..
[3] Pattinama, Marcus J, Pengentasan Kemiskinan
dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Pulau Buru – Maluku dan Surade – Jawa
Barat), MAKARA, Sosial Humaniora, Vol 13. No. 1, Juli 2009: h/ 1-12
[4] Saat
VOC mulai masuk ke wilayah Indonesia Timur mengambil alih posisi Portugis yang
sudah menguasai wilayah pada masa sebelumnya, VOC juga mengklaim Pulau Buru
sebagai wilayahnya dengan perkiraan bahwa Pulau Buru merupakan salah satu
daerah Kesultanan Ternate pada masa itu. Sehingga begitu VOC menguasai wilayah
Kesultanan Ternate, Pulau Buru otomatis juga menjadi wilayah VOC. Untuk
memudahkan system administrasi pemerintahan dan politik, pada tahun 1824 hukum colonial Belanda
menghasilkan pembagian wilayah Pulau Buru menjadi 14 regentschap berdasarkan
petuanan yang ada di Pulau Buru. Pada tahun 1934 jumlah regentschap berkurang
hingga hanya tinggal 7 regentschap ( Barbara Dix Grimes, “Mapping Buru: The
Politic Territory and Settlement on an Eastern Indonesia Island”, Sharing the
Earth, Dividing the Land”, Reuter, Thomas Anton (ed.), ANU Press, The
Australian National University, 2006 ).
[5] Menurut Staatblad no. 19 A, VOC memandang perlu
reorganisasi politik local dengan menggabungkannya dengan system colonial.
Untuk itu karena tidak ada system pemerintahan local yang sudah diakui
keberadaannya, maka pemerintah menunjuk para raja masing masing petuanan dan
membentuk regentschap. VOC mengumpulkan
14 raja yang ada dan ditempatkan di Kayeli, dan diangkat sebagai regent untuk
masing masing regentschap yang dibentuk oleh VOC. Oleh VOC, Kayeli disebut
sebagai kerajaan bentukan VOC di Pulau Buru, dapat disebut juga, Kayeli adalah
cermin Pulau Buru buat VOC (ibid.)
[6] Terdapat struktur hierarki dari keberadan
delapan Raja Pati ini, yang tertinggi adalah Raja, kemudian Pati dan yang
terakhir Orang Kaya. Strata tertinggi adalah bersoa Wael bertempat di Kayeli.
Strata kedua bersoa Soel bertempat di Fogi dan soa Hentihu di Wamlana. Strata
ketiga adalah soa Tumnusa di Waesama, soa Besi di Liliali, soa Hiku di Tagalisa
dan soa Waetabo di Masarete.
[7] Pada akhir abad 19, keberadaan regentschap
bentukan VOC yang tadinya berjumlah 14, akhirnya berkurang. Kondisi tersebut
terkait dengan kenyataan bahwa tidak semua regentschap memiliki penduduk dalam
jumlah cukup banyak. Akhirnya pada tahun 1847 beberapa regentschap yang
lokasinya berada dalam satu wilayah digabungkan jadi satu, misalnya”
Regentschap Maro, Hukumina, Palamata dan Tomahu dimasukkan dalam Regentschap
Bara. Menyusul regentschap Ilat pada tahun 1875. Bahkan keluarga utama pada
masing masing regentschap tersebut lama kelamaan juga punah karena jumlahnya
yang lama lama semakin sedikit. Pada tahun 1900 an, para raja kembali ke
wilayah masing-masing di Pulau Buru, setelah hampir lebih dari 100 tahun
tinggal di sekitar Kayeli.
[8] Matgugul adalah sebuah jabatan dimana
pemegangnya harus tinggal di dataran Rana. Masing masing Matgugul membawahi 4
soa/marga
[9] Contoh: Jika sudah ditetapkan satu mata rumah
mendapat tugas sebagai marinjo sejak dulu, maka pada masa kemudian anak
turunannya akan mewarisi tugas sebagai marinjo.
Labels:
berbagi informasi,
petualangan
Subscribe to:
Posts (Atom)