Liburan kemaren, saya sempat diminta menemani Ibu ke makam kakek di Bergota Semarang. Bergota itu nama salah satu Tempat Pemakaman Umum di Kota Semarang, yang letaknya ada di satu bukit kecil. Sudah penuh sesak makam di TPU tersebut, sehingga rada lumayan mahal jika saat ini mau memakamkan seseorang di tempat tersebut.
Mau tahu siapa kakek saya?
Jadi, jelek jelek gini, saya cucu perintis kemerdekaan lho. Dulu saat kakek meninggal, sebenarnya oleh Pemerintah Kodya ditawarkan untuk dimakamkan di taman makam pahlawan di kota Semarang. Namun, karena kakek sudah berpesan bahwa beliau mau dimakamkan di Bergota di samping makam nenek, ya sudah. Walaupun kenyataannya makam kakek dan nenek ternyata tidak berdampingan dalam arti sebenarnya, karena makam kakek dan nenek terpisah oleh beberapa makam.
Oleh pemda nisannya dibuatkan tanda seperti tersebut karena beliau tetap memilih dimakamkan di pemakaman umum.
Biasanya jika ke makam, saya hanya ikut saja, berdoa, pulang. Namun, karena dalam rangka liburan, dan kemana mana bawa kamera, jadilah saya jeprat jepret di sana sini.
Satu hal yang unik yang saya lihat di TPU tersebut. Tiap tiap nisan diberi tanda kapan terakhir yang bersangkutan (eh kok yang bersangkutan, yang berkepentingan dengan makam tersebut) membayar retribusi untuk dapat tempat di makam tersebut.
Jadi pada tiap tiap nisan tertera cetakan seperti gambar berikut:
atau spt nisan berikut
tanda tahun berarti tanda bahwa terakhir makam tersebut dibayar retribusinya pada tahun 2003. L tanda area, dan nomor berikutnya nomor urutan makam. Karena saya lihat nomor yang ada berurutan dari makam satu dan makam sebelahnya.
Dengan adanya tanda tahu 2003 atau 2004 tersebut, berarti lima tahun setelah tahun yang tertera retribusi makam tersebut harus dibayar lagi untuk lima tahun ke depannya.
Jika pada retribusi makam tidak dibayar, maka jangan harap bisa melihat makam tersebut pada masa masa kemudian, karena lokasinya sudah dipakai untuk makam orang lain yang meninggal kemudian.
TPU Bergota ini termasuk TPU favorit di kota Semarang. (eh beneran, ini serius).
Beneran ini, TPU Bergota termasuk TPU favorit. Saat ini, hanya orang bersedia membayar mahal yang dapat dimakamkan di tempat ini.
Jika, ndak bisa bayar kavling makam di Bergota, ya silahkan dimakamkan di TPU lain di Semarang, yang saat ini sudah tersebar di pelosok kota Semarang.
Berhubung Bergota ini termasuk TPU awal di kota Semarang, tata letak masing masing makam di sini bener bener tidak beraturan, coba lihat foto berikut
Berantakan ndak keruan. Entah itu dari segi ukuran masing masing makam, atau letaknya sekalipun.
Saya selalu ingat, jika akan masuk area makam tersebut, Ibu selalu bilang, ati-ati, jangan melangkahi makam.
Saya diam saja, namun dalam hati saya menjawab, bagaimana bisa tidak melangkahi nisan, lha wong jalan untuk lewat saja ndak ada. Ya, mau tidak mau pastilah terlangkahi nisan nisan itu barang satu, dua atau… banyak!! Jadi ya maaf maaf saja ya kam.
Coba, lihat saja sendiri, bagaimana mungkin kita dapat berjalan menuju satu lokasi tanpa melangkahi makam. Ya, ndak mungkin to.
Di makam tersebut saya sempat berpikir, saat ini ibu saya masih hidup. Jadi beliau masih sempat mengurusi makam kakek dan nenek. Dan masih terujar, bahwa tahun depan harus membayar retribusi makam lagi.
Apa yang terjadi, jika suatu saat nanti, cucu dan keturunannya ada yang lupa.
Lho… manusia itu kan ya tempatnya lupa. Lupa bayar retribusi makam, then, hilanglah makam-makam leluhur.Gawat!
Setelah dari makam tersebut, terlintas dalam pikiran saya, mengapa masih ada beban bagi si mati. Padahal, jelas jelas dia sudah mati. Masih saja dimintain retribusi kavling makam tiap lima tahun. Sesuatu hal yang absurd.
Tiba-saya teringat, saya punya teman waktu kuliah. Ayahnya meninggal. Dikremasi. Padahal bukan Budha ataupun Hindu.
Orang Jawa. Tulen. Agamanya? Ndak penting saya sebut disini. Sebelum meninggal ayahnya berpesan, bahwa agar setelah meninggal jenazahnya dikremasi saja. Alasannya? Beliau tidak ingin merepotkan kedua anak gadisnya di masa masa mendatang.
Jadi benarlah, setelah meninggal jenazah di kremasi, abu jenazah disimpan dengan baik oleh kedua anak gadisnya. Selanjutnya saya tidak tahu, apakah abu jenazah kemudian di buang ke laut atau tidak.
Sepertinya, boleh juga ya kondisi tersebut. Setelah meninggal dunia. Sudahlah. Selesai sudah. Beres urusannya. Tidak membebani orang lain lagi. Bahkan untuk proses kremasi pun mungkin dananya sudah disediakan juga sebelumnya oleh yang bersangkutan.
Saya jadi ingat waktu kecil dan masih tinggal bersama kakek. Dulu kakek rutin tiap bulan membayar iuran Tri Dharma. Jadi iuran tersebut dipakai nanti kalau yang bersangkutan meninggal dunia, biaya dan proses pemakaman semuanya diurusi oleh pihak Tri Dharma. Keluarga yang ditinggal tidak perlu bingung bingung lagi. Urusan semua beres.
Jadi kepikiran juga, mungkin ada baiknya cari kelompok ‘something’ yang orientasinya iuran untuk diri sendiri jika meninggal nanti. Biar yang ditinggal tidak repot bayar kavling makam dan segala macamnya.
Atau, dikremasi saja ya? Biar tidak merepotkan anak cucu untuk membayar retribusi kavling ke depannya nanti?? Wallahu alam bisawab.
2 comments:
mmm..kalo di makam keluarga aja gimana, Mbak..?
rasanya gak ada retribusi deh..
Usulin sana gimana kalo kompleks makamnya lokasinya jadi Makam Susun, jangan cuman rumah susun ato apartment doang yang dibangun, hehehehe kan bisa ngirit tempat tuh?
Post a Comment