Tuesday, October 26, 2004

TERBANGLAH TERBANG. KE LERENG GUNUNG SUMBING.

Gelap. Sunyi. Hening. Sesekali bunyi jengkerik mengusikku. “Ayo bangun! Bangun!.. sudah waktunya kita berangkat!”. Demikian ingatanku membawaku kembali ke lereng gunung Sumbing hampir 20 tahun yang lalu, saat aku melihat beberapa hasil karya fotografi tentang lereng sumbing di Kompas hari Minggu lalu (24/10/04).
Rinduku akan pendakian begitu memuncak. Sedih, karena rasanya hal itu seakan begitu jauh sekali dari diriku. Saat angka 25 mulai menjelang. Saat lembaga yang bernama ‘pernikahan’ mulai membelengguku. Saat …. Saat… saat… penyesalan sudah tidak berarti lagi.

Sesal. Kesal. Memuncak.
Teringat aku kembali… dalam gelap, menyusuri jalan setapak disela sela semak belukar. Pekat. Hanya hitam dan kelam. Ditemani secercah cahaya senter yang redup. Di sela sela pucuk pinus, cemara, ladang. Hmmm.. keringat dan capek yang mulai datang tidak terasa. Sesekali kantuk datang menyergap saat berhenti sejenak untuk mengatur nafas dan tenaga. Beriringan, seorang demi seorang, menapak. Makin jauh, makin tinggi, makin sesak. Mengejar waktu, supaya tidak terlambat menyongsong matahari pertama di atas gunung. Dan setelah pertemuan itu…. hanya ada rasa syukur. Mendapatkan karuniaNya untuk sempat melihat Ke Agung an yang begitu nyata. Diam kita membisu, menjejaki langkah kembali, ke dunia nyata yang penuh kepalsuan dan kemunafikan. Kembali turun gunung, untuk bergulat dengan dunia. Bertahan dari godaan. Mempertahankan prinsip. Mengejar prestasi duniawi. Memburu materi sebagai symbol prestasi.

Rindu aku akan ketenangan, kebisuan sang gunung. Diam membisu, dijejaki langkah langkah sang petualang remaja. Rindu aku akan edelweiss yang mungil dalam genggaman sang awan. Rindu aku akan awan yang mendekat, memaksa, supaya aku terbang bersamanya. Ingin kujejak awan dan hup.. terbang, bersama awan, tanpa tujuan, tanpa akhir, hanya kerinduan menyatu dengan alam.
Ya Tuhan, betapa aku rindu akan kebesaran dan keagungan Mu. Di gunung Sumbing kutemukan sosok kebesaran Mu. Tiada terlawan. Tangis tersimpan. Tak seorangpung tahu. Betapa aku ingin terbang, bebas, kemanapun aku ingin terbang, tanpa batas.

Ingin kuulangi lagi saat-saat yang menakjubkan itu kembali. Saat bersatu dengan alam. Bersatu dengan kebesaran Tuhan. Menyaksikan karya ciptaan Tuhan yang sangat agung.
Kapankah aku dapat mengulanginya kembali.

Saat ini, kerinduan itu begitu menyesak di dada. Terbanglah jiwaku ke Lereng Gunung Sumbing. Terbanglah terbang. Tinggalkan raga sendiri. Tak usah kau ragu. Karena keraguan hanyak akan membawa penyesalan nantinya. Terbanglah terbang. Tak usah kau ragu. Karena jiwa dan raga tak harus selalu bersatu. Terbanglah terbang. Tinggalkan raga. Penuhi rinduku, jelanglah puncak. Hingga tak menyesal nanti.

No comments: