Menikmati kembali pemunculan Butet Kartarejasa dengan monolognya, membuat saya teringat bagaimana penampilannya beberapa tahun yang lalu dalam format yang sama. Pasti masih ada yang teringat bagaimana ia menirukan sosok para pemimpin bangsa ini dengan persisnya. Kritik nya sangat tajam dan pedas bahkan terkesan berani mati untuk masa orde baru. Namun, begitulah butet. Pada akhirnya ia malah terkenal jadi seorang ‘monolog”.
Dalam penampilannya minggu lalu yang bertajuk “Matinya Toekang Kritik”, Butet memadukan kemampuan teatrikalnya sebagai seorang monolog yang wahid dengan aplikasi multimedia sebagai latar belakangnya.
Cukup menarik, jika itu dimaksudkan sebagai terobosan baru untuk sebuah penampilan teater.
Butet sendiri, seperti biasanya. Berani. Vulgar. Bahkan berani saru (bs.jawa). tegas. Dan seperti biasanya… kritik sosial tetap jalan terus…..
Inti cerita matinya toekang kritik sih cukup up to date menurutku untuk kondisi saat ini, dimana era reformasi membuat semua orang dari berbagai kelompok unsur masyarakat memperoleh kebebasan berekspresi untuk mengkritik, men-demo, memprotes, unjuk rasa serta mogok (mogok dalam hal apa saja) memperoleh tempat dan waktu dengan bebas.
Ya… apa yang terjadi jika sudah tidak ada yang dapat dikritik lagi. alias semua berjalan sesuai dengan rencana. Sempurna. Tidak ada cacat sedikitpun. Sehingga tidak sedikit celahpun untuk dikritik???
Ya matilah si toekang kritik.. ya toh??? Kan sudah tidak ada gunanya lagi toh?
Dan kapan itu????
Si tukang kritik itu bernama raden mas suhikayatno. Dia merupakan symbol yang menggambarkan bahwa tukang kritik itu akan selalu ada di setiap masa. Dari waktu ke waktu. Ia ada di setiap sejarah, di tiap tempat, di tiap ruang dan waktu, dengan banyak nama.
Kritik itu selalu dibutuhkan oleh setiap zaman. Demi kemajuan zaman dan kebaikan bersama, dan seterusnya dan seterusnya, blab la bla.
Dengan kata lain, keberadaan kritik adalah mutlak sebagai bagian dari usaha mencapai idealisme itu sendiri.
Dan apakah artinya jika kemudian tukang kritik tidak diperlukan lagi dan oleh karena itu kemudian menjadi mati?
Pastilah karena dunia sudah begitu ideal, sehingga kritik sudah tidak diperlukan lagi. segalanya sudah baik baik saja.
Seharusnya dengan keadaan dunia yang sudah sangat ideal, tukang kritik harusnya seneng toh? Dan ia seharusnya kemudian hidup bahagia, karena kehidupan yang diinginkannya dapat terwujud. Semua berjalan harmonis, adil, makmur, tentrem, kerta raharjo. Dan lenyaplah para tukang kritik tersebut.
Namun, ternyata lenyapnya tukang kritik bukan merupakan indikasi yang bagus, sebaliknya, mungkin merupakan awal ketertindasan baru. Ya… harmonis itu tidak selalu baik, karena dalam usaha untuk menciptakan suatu keharmonisan, bukan tidak mungkin ada suatu kelompok yang pasti tertindas.
Yang pasti lakon yang dipentaskan Butet membuat kita untuk berpikir sungguh sungguh tentang bagaimana kontribusi sikap kritis dalam membangun kehidupan berbangsa di Indonesia selama ini. dan berusaha untuk selalu mengkritisi apa yang sedang berlangsung di dalam kehidupan kita, ataupun di lingkungan terdekat kita. Kritik, seberapapun pedasnya, jika pada akhirnya akan membawa kita kepada kehidupan yang lebih baik, akan bersifat positif.
3 comments:
Masalahnya tukang kritik Indonesia biasanya selalu kesiangan, kritiknya jarang ada yang visioner, mengkritik hal yang AKAN terjadi.. itu baru ngritik namanya.. artinya memandang ke depan, bukan ngoyak2 luka borok yang ada dimana-mana.. Luka mah harusnya disembuhin, Itu tugasnya Dokter, Borok jangan di kritik...percumah.
Mudah2an Indonesia bakal punya tukang2 kritik masa depan, bukan tukang korek2 luka lama... Amin.
saya lihat liputannya di tv..
menggelitik..
wah akhirnya ada liputan ttg butet secara saya yg langganan nonton butet gak bisa lagi liat butet monolog.
karya monolognya sendiri karya agus noor ya sha?
cocok deh karya nya agus noor, aktornya butet, sutradaranya Whani darmawan.
oh yogyaa. jadi kangen deh
-maknyak
http://serambirumahkita.blogspot.com
Post a Comment