Saya sedang sebel.
Begini ceritanya:
Si bontot kan baru masuk kelas satu SD. Sementara, si kakak (yang bedanya Cuma 1,5 tahun) naik kelas dua SD.
Dalam bayanganku, ah… nanti si bontot bisa pakai buku kakaknya. Lumayan kan daripada beli baru, bisa untuk keperluan lain kalau bisa saving.
Nah,… saat pembagian daftar buku, saya sudah berharap harap cemas, mudah mudahan buku buku yang dipakai adalah buku dari penerbit yang sama seperti yang dipakai kakaknya tahun lalu, jadi bisa lah di akali nanti buku kakaknya jika ada coretan coretan yang bisa dihapus.
Dalam daftar buku yang dipakai tersebut, hampir separuh dari penerbitnya sama dengan penerbit yang dipakai tahun lalu. Lumayan seneng bisa sedikit hemat.
Alhasil, saya hanya memesan buku untuk si bontot dari penerbit yang berbeda.
Saat konsultasi dengan guru kelas satu, saya sempat bertukar pikiran tentang buku buku tersebut. Saya sedikit khawatir jika walaupun dari penerbit yang sama, namun isinya berbeda. Ibu guru yang cantik itu menenangkan dengan memberitahukan bahwa nanti akan dipinjami buku buku yang dipakai untuk dibandingkan dengan buku buku si kakak tahun lalu, sehingga keputusan membeli atau tidak tergantung setelah cek dan ricek buku buku tersebut.
Akhirnya, saat pembagian buku pun tiba, karena saya hanya mengambil separuh saja, maka saya sempatkan membandingkan satu dua buku yang tidak saya ambil dengan buku lama. Tentu saja sambil diskusi dengan ibu guru kelas satu.
Karena banyak buku si kakak yang tidak saya bawa, akhirnya ibu guru tersebut dengan suka rela meminjamkan buku buku yang saya tidak beli untuk dibawa pulang ke rumah dan dibandingkan.
Walah……!!! Kesel bin jengkel bin marah bin kekhi. Merasa dikerjain oleh penerbit.
Coba bayangkan.
Ini hanya salah satu ilustrasi untuk satu buah buku untuk mata pelajaran yang sama dan diterbitkan oleh penerbit yang sama pula.
Satu buku, yang diterbitkan oleh penerbit yang sama. Saya lihat gambar sampul. Berbeda.
Kemudian saya lihat detail penulis dan tahun cetak. Berbeda. Milik si kakak dicetak tahun 2006. yang baru dicetak tahun 2007. Ok. Ini bisa diterima.
Tulisan di sampul depan, milik si kakak “SESUAI STANDAR KOMPETENSI KURIKULUM 2004”, yang baru “SESUAI STANDAR ISI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP).
Nah.. sekarang isinya.
Dari daftar isi… sebenarnya judul masing masing bab tidak berbeda jauh. Masih sama. Namun, sub bab masing masing, jadi sedikit berbeda karena editorial judulnya diubah walaupun arti dan maknanya sama.
Dan… yang paling penting adalah, letak halaman per judul juga berbeda.
Sebenarnya kalau saya periksa tidak sedikitpun berbeda isinya. Topik yang ada di buku lama ada juga yang di buku baru.
Namun letaknya pada halaman yang berbeda.
Hhhhhh!!!
Kalau saja yang memakai buku tersebut adalah anak yang sudah besar, misalnya SMP atau SMU, pastilah, kita bisa mengarahkan, agar nanti kalau pas topik X dicari di halaman ini. Pasti ada. Walaupun letaknya berbeda halaman. Namun isinya sama. Jangan khawatir.
Lha ini!!! Yang menggunakan kan anak kelas satu SD yang notabene baru saja dapat membaca dengan lancar. Biasanya masih terlalu nurut pada ibu gurunya. Pastilah, ibu guru bilang a pasti akan di turuti. Ibu guru bilang halaman 10, ya pastilah dia akan buka halaman 10. Tidak ada permakluman mau itu buku lama or buku baru.
Dan dengan sangat terpaksa, akhirnya, tetap saja saya membeli lengkap buku paket yang ditawarkan sekolah. Tanpa terkecuali. Impian bisa saving uang untuk beli yang lain lenyap.
Dalam hal ini sebenarnya, masalah uang bisa lah kita cari. Apalagi untuk pendidikan anak anak.
Pendidikan anak merupakan hal yang paling utama dalam hidup saya saat ini.
Namun kalau dikerjain penerbit dengan cara seperti itu, ya jadi seperti dibodoh in hanya demi uang.
Tiba tiba saya teringat saat sekolah dasar dulu. Seingat saya, mulai kelas 4 SD kalau tidak salah, setiap mata pelajaran, ada buku paket dari departeman P & K (dulu) dan ada cetakan TIDAK UNTUK DIPERDAGANGKAN.
Buku buku tersebut dipinjamkan oleh sekolah untuk setahun, dan saat kenaikan kelas semua buku paket yang dipinjam harus dikembalikan ke sekolah dalam keadaan bersih.
Sekarang??? Sepertinya tidak ada buku wajib dari Depdiknas untuk anak sekolah. Jadi tidak ada jatah buku gratis dari Depdiknas untuk anak anak SD.
Entah ya jika sekolah di SD Negeri. Apakah di SD Negeri buku buku dipinjami atau tidak.
Namun, setahu saya dari tetangga sebelah yang anaknya juga sekolah di SD Negeri, tiap semester mereka tetap beli buku paket dari berbagai penerbit juga.
Nah, kalau tiap tahun urusan kurikulum ini berubah ubah. Apa ya tidak repot para orang tua. Bayangan dapat memakai buku untuk si adik adik pupus sudah. Yang ada adalah,… tiap tahun ajaran baru, mesti beli buku baru. Lengkap. Tanpa terkecuali.
Lha kalau begini caranya, kan ya ndak ada gunanya menyimpan buku buku pelajaran paket. Karena mesti tidak akan terpakai lagi di tahun yang kemudian.
Akhirnya jadi mikir lagi, kalau begitu itu satu tumpuk buku yang memakan 2 box plasti ukuran 40 x 60 x 30 cm harus dikemanakan ya??? Di jual tukang loak? Apa laku? Dibuang? Kok sayang…
Diberikan anak lain yang membutuhkan? Mereka tidak memakai buku tersebut lagi karena tahun penerbitan beda dengan saat akan dipakai.
Membingungkan.
Dapat dibayangkan, ada berapa ratus ribu buku tidak terpakai tiap tahunnya, kalau gaya penerbitnya seperti tersebut di atas. Yang penting omset tercapai. Tidak perduli bagaimana caranya.
Entah itu membuat ribuan buku jadi mubasir sia sia. Entah itu membuat orang merogoh kocek untuk hal yang sebenarnya dapat di pergunakan untuk hal lain.
Entah itu membuat orang jadi tidak perduli lingkungan hidup.
Entah itu tidak peduli kesadaran dan keprihatinan akan situasi sosial dan ekonomi yang ada saat ini.
Wis. Jan tenan.
Menyebalkan.
Kapan ya ada pemimpin atau pejabat yang kebijakannya berpihak pada masyarakat kecil. Yang dapat membuat rakyat kecil tidak pusing tujuh keliling tiap tiap masuk tahun ajaran baru.
Cari uang ya cari uang. Tapi…. Gimana ya?
So,.. lebih baik dibikin terpusat aja ya urusan bukunya. Jadi… bisa dipakai turun temurun.
2 comments:
mmm..
dan penerbit memberikan insentif buat guru yang menjualkannya di sekolah..
(pengalaman ngobrol dg org penerbit)
Bener mbak, negeri ini sudah dikangkangi lingkaran setan pembodohan bangsa, hanya demi uang, mestinya pemerintah tertibkan mafia pendidikan ini, tapi lagi2 pemerintah kita lebih percaya pada mekanisme pasar, liberal banget deh, hajat hidup rakyatnya diserahkan pada swasta, pada pasar, yang konon katanya akan terjadi persaingan sehat, apa mafia buku ini menunjukkan perkembangan yang sehat ?
Post a Comment