Wednesday, June 30, 2004

New feodalisme

Seorang biasa yang bukan keturunan langsung dari keluarga keraton, tiba-tiba mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung, atau Raden atau Raden Ayu, atau supaya lebih ekstrem Bandoro Raden Ayu. Hal tersebut bisaa pada masa-masa sekarang. Keraton Kasunanan sangat obral dengan gelar-gelar tersebut. Tanpa memandang latar belakang orang yang diberi gelar, asal ada referensi dari kerabat keraton, maka sim salabim… jadilah seseorang menjadi seorang Kanjeng.
Wiranto jadi pangeran, terus…. Akbar Tanjung juga jadi pangeran (garis dari mana pula orang medan ini bisa jadi pangeran, ya kan?
…..
Sebenarnya Keraton Kasultanan Yogyakarta juga kadang memberi gelar kepada orang lain, akan tetapi tidak seobral Keraton Kasunanan.
Bahkan beberapa keraton di luar pulau Jawa juga memberikan gelar kepada beberapa petinggi Negara (nggak usah disebut siapa ya?.. karena presiden kita juga jadi ratu palembang sekarang ini dan suaminya jadi raja). Itu hanya satu contoh, masih banyak contoh lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu
Dan ironisnya ,… tidak ada alas an kuat untuk menganugerahkan gelar tersebut, kecuali hanya soal money, money.
Money talk.
….
Ini off the record ya….. sebenarnya acara pemberian gelar tersebut terkait erat dengan usaha penggalangan dana supaya keraton tersebut dapat tetap hidup dan eksis dengan layak pada masa sekarang. Dimana sumber-sumber pendapatan keraton sudah tidak banyak lagi.
Memang sih itu efektif, karena setiap ada acara… masing-masing orang yang diberi gelar akan punya kewajiban moral untuk hadir dan menyumbang (tentu saja).

TETAPI, kadang-kadang ada yang menggelikan dan mengharukan (haru geli), antar mereka yang mendapat gelar baru tersebut (atau bisa disebut OKB = Orang Keraton Baru) , memanggil satu dengan yang lainnya dengan nama panggilan kanjeng walaupun mereka ngobrol via phone. Woadoh…. “begini kanjeng….”

Kebetulan, bagi beberapa gelar… ada yang mendapat keleluasaan untuk meneruskan kepada turunannya, namun tentu saja… fulusnya lebih besar.
Jadi jika seseorang (laki-laki) mendapat gelar, dan kebetulan referensi dia cukup kuat, maka otomatis istri dan anak-anak juga mendapat gelarnya. Betapa mudahnya, nanti bisa-bisa sampai cucu dan cicitnya dapat gelar juga kali.

Buat aku pribadi, apalah arti sebuah gelar kebangsawanan. Gelar tersebut tidak pernah membuat silau mata. Sebagaimana materi yang berlimpah-limpah. Tidak akan pernah menyilaukan mataku, sehingga aku akan membungkuk-bungkuk pada mereka.
Sebenarnyalah aku kadang menjadi malu sendiri, kalau mereka-mereka adalah orang yang aku kenal. Kasihanlah aku pada mereka. Karena kemudian, mereka akan repot-repot mengubah segala hal yang berhubungan dengan namanya, ktp, paspor, sim.
Kasihan.

Seseorang tidak akan dilihat dari gelar kebangsawanan. Memang mereka kadang mendapat keistimewaan pada beberapa hal, tapi… apalah arti sebuah keistimewaan. Seseorang hendaknya menjadi diri mereka sendiri. Sejelek apapun kondisi mereka masing-masing.

Seorang A akan tetap menjadi A, walaupun tiba-tiba mendapat tambahan gelar Kanjeng Pangeran A. Bagaimanapun ia membawa namanya yang bergelar tersebut kemana-mana, orang akan tetap tahu… bagaimana pula A bisa menjadi Kanjeng Pangeran, darah manapula yang bisa menariknya ke garis keraton.

Begitu kan?
Menurutku, seseorang dinilai dari kemampuan dan kepribadiannya, tidak dari gelar ataupun kekayaannya. Bila memang gelar dan kekayaan masih menjadi standard dalam menilai seseorang, berarti memang kita sendiri mau diperbudak oleh materi. Dan jaman feodalisme kembali hadir ditengah-tengah kita yang sudah memasuki jaman baru ini.
……
ERA FEODALISME BARU, warisan orde baru yang muncul lagi di masa reformasi ini.

(Tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka yang memang memiliki gelar kebangsawanannya sejak lahir)

No comments: