Beberapa hari yang lalu, mendapat email dari salah satu temen dekat ku (kalau tidak mau dibilang sahabat), dia bilang bahwa dia menyesal mengapa dia memiliki teman dan sahabat yang tidak mengerti tentang dia. Berarti aku termasuk satu diantara teman dan sahabatnya (mungkin) yang dinilai seperti itu.
Sedikit tertegun aku membaca tulisan dia, mengingat apa yang telah aku perbuat dan aku katakan selama ini, ternyata masih tetap dipandang tidak mengerti tentang dia dan masalahnya.
Buatku, yang lebih sering berpikir secara logis daripada emosi, kalimat Tanya pertama yang muncul di benakku stl membaca tulisannya adalah: “Definisi mengerti apa yang ada di benak dia?”
Apakah konsep “mengerti” buat dia itu sama seperti konsep kata “mengerti” yang standard dipahami oleh orang orang lain, ataukah ada konsep “mengerti” lain lagi yang ada di dalam pikirannya.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tertulis sebagai berikut:
Mengerti: (v) (telah dapat) menangkap (memahami, tahu) apa yang dimaksud oleh sesuatu; paham
Mengertikan: (v) menjadikan (membnuat) mengerti
Pengertian: (n) 1. Gambaran atau pengetahuan tentang sesuatu di dalam pikiran; pemahaman
(psi) kesanggupan inteligensi untuk mengankap makna suatu situasi atau perbuatan.
Itulah arti kata mengerti yang ada di kamus besar bahasa kita, dan juga (menurutku) yang dipahami oleh sebagian besar orang Indonesia.
Jadi, kalau arti kata “mengerti” yang dia maksud adalah sama dengan yang ada di dalam kamus, berarti tidak ada yang salah dengan diriku. Karena aku sepenuhnya sangat sangat mengerti akan masalah yang dia hadapi. Sangat sangat paham akan perasaan dan kondisi dia.
Kalaupun kemudian aku tidak setuju dengan pendapat dan pemikiran dia, bukan berarti aku “tidak mengerti” toh?
Namun, kalau kata “mengerti” yang dia maksud adalah, mengerti, memahami, menyetujui dan mungkin bahkan mengikuti saja apa yang dia pikirkan dan rasakan. WOW, itu salah besar.
Mengerti, belum tentu harus setuju. Okay?
Kalau aku pikir, apa yang dia lakukan tidak bersifat positif (buat aku tentu saja) dan mungkin juga buat orang lain, mengapa juga aku harus setuju dan mengikuti apa pendapatnya?
Itu berarti, aku bukan seorang teman (atau kalau masih boleh menyebut diri sahabat) yang baik. Tidak akan mungkin aku memberikan solusi yang berakhir dengan poin negative dipihak nya.
Apakah seorang sahabat yang baik, harus selalu mengikuti apa pendapat sahabatnya yang negative. Tidak kan?
Kalaupun pada akhirnya aku dicap tidak mendukung dan membantu dirinya dalam menyelesaikan masalahnya karena menurutku memang masalahnya blunded… apa mau dikata.
Toh aku sudah berusaha membantu.
Salah seorang sahabatku yang lain dengan tenang memberikan advice nya, “Yang penting, sebagai sahabat kamu sudah memberikan sebanyak mungkin masukan dan saran, kamu sudah menemaninya dimasa masa sulit, itu yang penting. Kalau semua yang kamu lakukan tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Ya terimalah. Santai aja lah. Ndak usah terlalu dipikirkan. The point is kamu sudah berusaha menjadi teman yang baik, kalaupun dianggap tidak baik, pastilah ada alasannya”
Aku pikir, bener juga katanya. Mengapa juga aku harus bersedih hanya karena dianggap tidak mengerti?
Bersimpati kan tidak hanya memakai perasaan. Bersimpati dengan memakai logika akan lebih membangun sifatnya, atau bahasa kerennya empati.
Lagian, masih ada banyak masalah yang akan menghadang didepan jalan hidupku. Fokus. Fokus. That would be better.
Jadi mungkin temanku itu harus menulis ulang imelnya dengan kalimat sebagai berikut:
“Aku menyesal mengapa sahabatku tidak mau mengikuti dan mendukung atas apa yang aku lakukan.”
Nah itu baru benar, dan aku akan manggut manggut langsung setuju dengan tulisannya, dan tidak akan sampai membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia ku yang tebelnya ampuuun!
No comments:
Post a Comment