Thursday, August 03, 2006

Jamila dan Sang Presiden

Sahwat lelaki boleh meluap membanjiri setiap tempat dan waktu
Dan anak anak gadisku sah untuk diperkosa
Sah jadi bulan bulanan kemunafikan
Diludahi, diejek, dikejar-kejar, bahkan diundan-undangkan…

Lahir cantik…
Di usia balita Jamila digadaikan ayahnya pada seorang mucikari
Seperti melawan badai, ia terhempas-hempas
Sendirian, terjebak dan hanyut..

Jamila, adalah satu dari puluhan juta anak-anak senasib
Korban perdagangan seks anak anak di bawah umur
Korban kemunafikan, ketamakan dan kemiskinan tanpa akhir.

(dari tulisan pengantar pentas “Jamila dan Sang Presiden”)



Menonton pementasan karya Ratna Sarumpaet yang berjudul “Jamila dan Sang Presiden”, kembali membuat saya jadi ingat kembali beberapa topik yang sering dibahas bersama teman teman antropolog. Begitu banyak persoalan tentang perempuan, yang tidak pernah terselesaikan hingga akar akarnya. Hanya pembahasan pembahasan, penelitian-penelitian, dan berbagai topik diskusi yang sangat absurd, tidak memberikan jawaban atas masalah-masalah tersebut.

Karya Sarumpaet kali ini berfokus kepada perdagangan perempuan. Ya, perempuan dijadikan komoditi seks dan diperdagangkan. Bagaimana asal mula adanya kegiatan perdagangan perempuan ini sebenarnya?.
Perempuan yang dijadikan komoditi seks identik dengan pelacur. Dijaman Soeharto disebut wanita tuna susila, dan saat ini disebut pekerja seks komersial.
Apapun sebutannya, kegiatan yang dilakukannya adalah sama. Kegiatan yang ada karena adanya laki laki yang membutuhkan wadah untuk penyaluran hasrat biologis.

Kalau dirunut sejak awal keberadaan sejarah umat manusia ini, pelacuran (prostitusi) ini sudah ada sejak jaman baheula. Jikalau memang demikian, kegiatan ini merupakan kegiatan memang ada dan harus ada (kali ya??!) selama masih ada kehidupan di bumi ini. Kecuali…. Kalau laki laki petualang seks itu sudah pada sadar semua.. mungkin kegiatan prostitusi jadi hilang.

Ah, iya.. kembali ke pementasan Teater Satu Merah Panggung. Saya melihat penampilan mereka bagus. Sarat pesan moral. Penuh pesan penderitaan dari para perempuan yang menjadi pelacur karena keterpaksaan. Atau bahkan karena dijual oleh orang tua mereka sendiri, atau bahkan oleh suami mereka sendiri.
Perempuan-perempuan yang tidak berdaya untuk lari dari kondisi yang dipaksakan kepada mereka. Mungkin hanya kematian yang membuat mereka bias berhenti dari ketidak berdayaan tersebut.

Cerita tentang Jamila, seorang perempuan pelacur, yang sudah dijual oleh ayahnya sendiri saat dia berumur 2 tahun kepada mucikari, dan akibatnya sudah pasti, saat dia beranjak remaja, menjadi pelacur adalah imbalah yang harus dilakukannya kepada mucikari yang sudah memelihara dia sejak kecil.
Dalam rangkaian kehidupan yang penuh paksaan dan derita tersebut, Jamila membunuh beberapa orang laki laki yang menurutnya memang harus dibunuh. Ada ayah dan anak yang harus dibunuh karena mereka tidak henti hentinya menggaulinya di saat mana seharusnya mereka adalah tempat berlindung kala dia berlari dari tempat pelacuran.
Ada seorang menteri yang dibunuhnya, karena menurutnya memang dia harus membunuhnya.
Cerita yang berjalan 2 masa, masa sekarang adalah Jamila yang berada di penjara menunggu putusan pengadilan, dan masa lalu tentang latar belakang kehidupan Jamila, membuat cerita di panggung terasa tidak membosankan.
Dua Jamila, Jamila masa kini dan Jamila masa lalu, sama sama tampil dalam satu panggung, namun dalam sisi yang lain.
Di saat Jamila yang sedang di penjara bercerita, maka cahaya akan menyorot bilik penjara tempat Jamila berada, dan saat kehidupan Jamila yang lalu diceritakan, lighting akan berpindah ke sisi panggung yang lain.

Walaupun satu panggung dua penceritaan, hal tersebut tidak membuat alur cerita jadi membingungkan. Kedua masa tersebut dapat sambung menyambung dengan rapi, tanpa harus membuat penonton berkerut.

Akting ke dua pemeran Jamila cukup bagus. Namun acting Peggy Melati sebagai sipir, mungkin harus dipertegas lagi. Masih ndak pantes dia jadi seorang sipir penjara wanita. Masih terlihat wah dan… suaranya masih belum berkarakter sebagaimana seorang sipir. Entah ya, ataukah mungkin karena belum terbiasa jadi pemain teater mungkin ya.
Ya.. siapa tahu, pada pementasan pementasan berikutnya yang akan diadakan di beberapa kota lain, sudah jadi lebih bagus.

Harus diakui, terbiasa melihat pementasan teater koma, dengan segala macam property yang begitu lengkap. Pementasan kali ini, sangat sangat sepi property. Bisa dibilang hanya satu amben (bangku panjang dan lebar).

Selesai menonton pementasan tersebut, menyisakan banyak rasa sesak di dada, mengapa perempuan lagi lagi menjadi obyek dan jadi pesakitan yang seolah olah harus diberantas. Pelacur lah yang salah. Dalam hal ini, perempuan lagi perempuan lagi yang dijadikan kambing hitam.
Padahal, kalau dipikir pikir, karena apa dan siapa sih, pekerja seks komersial alias pelacuran itu ada dan selalu ada. Tak pernah dapat dilenyapkan? Bukankah nafsu birahi laki laki yang tak terkontrol yang membuat semuanya itu ada. Jadi pusat masalahnya adalah pemuasan birahi laki laki yang tidak mempunyai sarana dan prasarana, yang dalam prosesnya ternyata dapat menjadi komoditi yang menguntungkan. Apalagi modalnya sangat sangat gampang.
Hanya saja, masalahnya memang tidak sesederhana itu. Tidak lantas, kita tumpas habis laki laki yang tidak dapat mengontrol birahinya itu, lantas pelacuran akan terhenti dengan sendirinya. Tidak.

Sesungguhnya tak seorang pun perempuan di bumi ini punya cita cita jadi pelacur. Tidak ada. Namun ada banyak masalah yang membuat hal tersebut selalu ada terus menerus dalam setiap generasi kehidupan di bumi ini. Adanya lingkaran setan kemiskinan, pembodohan generasi yang jauh dari jangkauan pendidikan membuat semuanya terasa begitu sulit untuk mengurangi kegiatan perdagangan perempuan tersebut.

Pesan dari cerita tersebut terlihat bahwa, sebenarnya jika pemerintah memiliki political will yang kuat untuk memberantas, atau paling tidak mengurangi perdagangan anak (perempuan) untuk dijadikan komoditi seks, pasti akan dapat dilakukan. Karena pemerintah memiliki rangkaian komando yang jelas dalam melakukan suatu pembinaan dan pengawasan hal hal yang terjadi dari pusat hingga daerah.
Kecuali pemerintah memang hanya ingin menutup mata tentang hal tersebut, sebagai mana pemerintah menutup mata terhadap masalah masalah lain yang seharusnya terlihat gambling dan jelas, namun jadi susah dirunutnya. Seperti misalnya illegal logging, pencurian ikan di perairan Indonesia, pencurian harta karun di wilayah Indonesia, pengungkapan korupsi yang kelihatannya gampang, namun jadi terlihat susah untuk menjerat pelakukanya.

Ah begitu banyak hal yang harus dituntaskan oleh generasi kita. Kalau saja, pada saat nya nanti generasiku menjadi pengurus negara, tidak polusi pikirannya oleh senior seniornya, alangkah jelasnya masa depan Indonesia nanti. Akan lebih bersih dan tegas.
Namun jika mereka teracuni pikirannya oleh urusan materi dan kedudukan yang membuat silap mata, ya sudah pasti, Indonesia tidak akan berubah. Tetap saja seperti sekarang ini, dimana korupsi meraja lela.

Semoga.

NB:
Jamila dan Sang Presiden akan dipentaskan di Surabaya tgl 4-5 Agustus, Medan tgl 11-12 Agt, Bandung tgl 21-22 Agt dan Palembang tgl 25-26 Agt. 2006

3 comments:

kinanthi sophia ambalika said...

mmmm tulisan yang bagus dan menyentuh mbak...mmmm aku hanya bisa bilang mmmmmmm. begitu mbuletnya persoalan sosial kita ya. Duh

igouw said...

pelacuran = profesi tertua didunia
libido laki2 = kodrat alamiah * see plato reference
Korupsi = legenda hidup negara kita
Seni = Sarana protes keras yg legal dan aman
Perbaikan bangsa = mimpi indah

should I say more?

* Perbaiki keadaan dengan memulai dari unsur paling kecil, yaitu : diri kita sendiri...

Anonymous said...

mbak kenalkan saya robin dari bandung..
menurut mbak bagaimana tentang RUU anti pornografi dan pornoaksi, apakah berprospek utnuk menyelesaikan masalah pelacuran di indonesia??,,,
masalah pelacuran itu sudah menjadi budaya, bisa ditekan namun tidak akan bisa hilang..mungkin karena berhubungan dengan biologis manusia..
tapi saya sepakat sih mbak, pelacur2 itu dilatarbelakangi karena masalah ekonomi dn lingkungan sosial dia berada..