Sunday, January 20, 2008

10 dua ribu, 30 lima ribu...opo tumon???

Saya sering sekali naik KRL Bogor jika akan ke Pasar Minggu saat saatnya tepat. Maksud saya, jamnya pas, saat kereta sedang tidak penuh. Jadi, tidak terlalu menyiksa jika naik KRL, dan saya dapat menikmati perjalanan yang hanya berhenti di tiga stasiunt tersebut, yang tidak lebih dari 5 menit durasinya..

Saya, akhir akhir ini prihatin dengan barang dagangan yang dibawa pengasong.
let s see..
Pengasong menjual buah salak dengan sebanyak 10 buah seharga duaribu. Kadang kadang akhirnya mereka menawarkan dengan 30 buah seharga lima ribu rupiah.
Atau jika tidak ada yang beli, pengasong menawarkan 5 buah seribu rupiah.
Saya??? bingung melihat bagaimana mereka dapat menjual buah salak semurah itu.
Sebagaimana mereka menjual buah rambutan di Pasar Minggu yang 3 ikat seharga lima ribu rupiah.

Saya coba menghitung, berapa keuntungan para pengasong tersebut dengan menjual harga salak semurah itu. Jika 10 buah salak seharga dua ribu, berarti satu buah salak seharga duaratus rupiah. Jika dari duaribu tersebut pengasong mengambil untung (katakanlah) limaratus rupiah, berarti pengasong mengambil salak dari pemasok dengan harga Rp.1.500,- per sepuluh buah.
Di dalam per sepuluh buah salak tersebut terkandung biaya angkut salak dari kebun sampai jakarta, belum biaya pengumpul buah salak, belum biaya petani, belum hal hal yang lain lain.
Dengan demikian bisa dibayangkan berapa harga salak tersebut saat di kebun buahnya.
Saya bayangkan, pasti sangat rendah sekali harganya. Entah petani mendapat keuntungan atau tidak dalam masa panen tersebut.
Hal yang sama juga saya perhitungkan pada harga buah mangga, saat musim mangga beberapa saat lalu. Saya pernah ketemu toko buah yang menjual mangganya dengan harga Rp.2.000/kg.
Wuih...!!!

Saya sebagai pembeli seneng seneng saja dengan harga produk buah yang murah murah tersebut. Namun, kadang terbayang, bagaimana petani buah dapat bertahan dengan harga jual buah yang serendah itu.
Entah, mungkin perhitungan saya di atas salah ya..
Namun mengingat, pengamen saja sekarang minimal Rp.500 logam jika kita memberi, atau tukang parkir saja sekarang tarifnya Rp.2.000 sekali parkir, atau per jam di pusat pertokoan atau perkantoran...
Membayangkan harga buah salak 30 buah seharga Rp.5.000,- rasanya ngeners sekali.
Bagaimana petani Indonesia bisa maju dan makmur ya.. kalau mereka tidak selalu stabil harganya. Harga rendah serendah rendahnya... ancaman buah busuk karena hasil panen yang melimpah ruah, dorongan harus habis dalam waktu dekat.. membuat harga rendah hasil panenan buah kadang kadang tidak masuk akal buat saya.
.....
Bandingkan dengan buah impor.. wow....!!!
...
Mungkin tulisan di atas terlalu naif ya.
Bisa jadi, apa yang terjadi sebenarnya tidak seperti itu. Bisa jadi dengan harga jual yang 3o buah Rp.5.000 tersebut sudah menguntungkan pengasong, pemasok, dan petani. Berapa jadinya harga awal buah salak tersebut di kebun?
....
Persaingan buah lokal dan buah impor memang sudah sengit terjadi sejak buah impor banyak membanjiri Indonesia. Tragis.
Saya... termasuk orang yang lebih suka membeli buah lokal. Petani lokal harus lebih diutamakan. Mau jadi apa negara ini kalau semua lebih suka produk impor?

Entah, sedih saja, melihat Indonesia sekarang jadi negara yang apa apa harus impor. Apa apa harus impor. Jika sedikit saja terdapat masalah impor barang, kondisi dalam negeri kelabakan.
Apakah akan begini terus keadaan Indonesia sampai masa yang akan datang?????

4 comments:

Bambang Aroengbinang said...

iya nduk, sering memang kita kejam pada orang yg lemah. coba lihat ibu2 ketika menawar belanjaan di tukang sayur, dan ketika beliau2 belanja di mall2 atau di resto2 mahal...
setuju untuk membeli barang2 lokal dan tidak terlalu pelit untuk membayar harga sedikit mahal.
bantuan dan subsidi, dari warga negara bukan dari pemerintah saja, untuk membangun ekonomi lokal masih sangat diperlukan...

SinceYen said...

Hayoo rame-rame beli produk negeri sendiri, buatan dalam negeri sendiri. Dengan begitu negeri ini juga akan didukung oleh bangsanya sendiri!!

Anonymous said...

sepertinya indonesia tuh benar2 sudah kehilangan kepribadian deh..

-imgar-

Anonymous said...

Ngerti banget perasaanmu, Say.
Kapan itu aku juga pernah ngalamin sendiri, soalnya. Nyoba bertani, cabe, tomat, dll.
Bangga banget waktu abis panen pertama, tapi cuma bentar.
Soalnya harga di pasaran kayaknya sama sekali gak sebanding dengan jerih-payahku bertani, huehehe.
Sakit atiiii banget rasanya ngeliat sayur-mayurku yang CANTIK2 itu dihargai ndak seberapa.
Weleh...

Masalahnya, dalam beberapa segi sayur/buah impor memang lebih bersih dan cantik dibanding yang lokal sih, Say...
Kurasa ini karena pemerintah di negara asalnya sangat memperhatikan pertanian/perkebunan.
Lha kalau di sini... petani kan kayaknya cuman jadi bulan-bulanan.. jadi korban.
Ditipu soal pupuk palsu, dijerat ijon oleh tengkulak, belum lagi bencana2 yg bikin gagal panen...
Dengan sikon seperti itu, gimana mereka mampu bersaing dengan produk impor?

Tp banyak juga produk lokal yg bagus. Salak, salah satunya. Kurasa untuk mengatasi anjloknya harga saat panen raya, salak mentah bisa diolah lagi.
Mis. jd manisan salak, dodol...
(udah ada dodol salak apa belum ya? Hmm... peluang bisnis niy, huehehe)

Hihihi... maap gantian posting di sini.
Salam buat keluarga. :-)