Tuesday, May 20, 2008

Standard Kelulusan Siswa. Adilkah????


Ribut-ribut UAN dan UASBN membuat saya sebel sendiri. Mengapa? Mau protes, itulah sistem yang harus saya ikuti. Mau ndak ikut ujian? Lha kan ndak mungkin.
Cuma kebijakannya itu lho... sangat sangat tidak adil terhadap siswa.

Kebetulan anak saya yang sulung UASBN, jadi saya tahu bagaimana proses tersebut saya pandang tidak adil.
Belajar selama 6(enam) tahun, bisa gagal hanya karena tiga mata pelajaran yang diujikan pada UASBN. Bahasa Indonesia, Matematika ada IPA.
Menurut saya, tidak selayaknya penentuan kelulusan ditentukan oleh 3 nilai tersebut. Ya.. kan tidak semua anak suka Matematika dan IPA. Bisa jadi ada yang kuat di bidang IPS dan lainnya.
Walaupun dibilang penentuan angka kelulusan untuk UASBN ditentukan oleh SD masing masing, sehingga standardnya bisa berbeda beda tiap sekolah. Namun, seharusnya hal tersebut tidak perlu diterapkan. Biarlah wewenang total ada pada sekolah.
Demikian juga pada tingkat SMP dan SMU. Tidak seharusnya penentuan kelulusan hanya berdasar pada nilai UAN.

Sebagaimana kita tahu dari media, dimana untuk SMP dan SMU standard kelulusan adalah (kalau tidak salah) 5,25 untuk masing masing mata pelajaran, maka seharusnya, dengan nilai yang sedemikian rendah, tidak seharusnya semua pihak meributkan hal tersebut. Tentu saja, dengan anggapan, bahwa jika untuk mendapat nilai sedemikian rendah tersebut murid murid Indonesia tidak mampu, bagaimana kita mau bersaing dengan negara lain. Begitu bukan???
Dengan anggapan bahwa nilai tersebut sudah rendah, maka sudah seharusnya murid murid Indonesia dapat mencapainya.
Namun, kenyataannya kan berkata lain. Ada banyak masalah yang menimbulkan bagaimana semua pihak terutama orang tua murid, guru dan tentu saja siswa terkait menjadi gedubragan ndak keruan. Ada banyak kendala yang menjadikan standarisasi pengajaran pada masing masing sekolah tidak sama. Tidak usah jauh jauh Indonesia Barat dan Indonesia Timur.
Lha wong satu DKI Jakarta saja bisa berbeda standar pengajarannya. Sehingga bagaimana siswa menerima dan menguasai materi pun berbeda standardnya.
Tentu saja hal tersebut seharusnya memicu guru untuk meningkatkan kualifikasinya.... namun yang ada, karena ada banyak berbagai kendala, yang ada guru tidak meningkatkan kualitasnya, namun hanya pontang panting mengejar target, bagaimana bisa meluluskan siswanya dengan apapun caranya.
Begitukah????

Diluar berbagai masalah yang ada, ujian akhir nasional memang perlu diadakan. Saya setuju sekali. Namun perlu di review lagi pelaksanaannya. Agar tujuan peningkatan standard pendidikan di Indonesia ini tidak menimbulkan banyak ekses negatif, hanya demi mencapai prosentase kelulusan, namun juga demi peningkatan kualitas itu sendiri.

Dengan demikian seharusnyalah penentu kelulusan siswa tidak berdasarkan pada nilai minimal yang diujikan. Penentu kelulusan tetap sekolah yang bersangkutan. Hal tersebut dengan mengingat berbagai kendala yang ada di seluruh pelosok Indonesia. Ingat!!! seluruh pelosok Indonesia.

Lha kalau penentunya adalah nilai UAN, yang terjadi adalah... guru saja bisa sampai mau merendahkan martabat dirinya untuk mengkoreksi jawaban soal ujian, kebocoran soal yang dilakukan oleh guru sendiri, anak anak tidak belajar, namun sibuk cari bocoran. Begitu kan yang terjadi??

Dengan kondisi demikian, akan lebih baik jika saat ini nilai UAN itu dijadikan pegangan masing masing anak untuk mengukur dirinya sendiri, akan kemanakah dia melanjutkan sekolah nanti.
Apakah akan masuk sekolah dengan standard nilai yang tinggi (biasanya sekolah favorit) atau yang sedang atau yang biasa saja. Kan dari nilai yang dia dapatkan, dapat dilihat, kemana dia akan melanjutkan. Untuk level SMU sendiri, nilai UAN nya bisa dia jadikan standard, mampukah dia bersaing dengan rekan rekan lain untuk ambil jurusan dengan persaingan yang ketat.
Sadar diri gitu ceritanya....

Dengan demikian, hal tersebut mengurangi keinginan berbuat curang pada anak anak sekolah dan bahkan pada guru guru sekaligus. Memangnya guru guru ndak stres apa kalau muridnya banyak yang ndak lulus???? Jadi guru tetap jadi guru, yang digugu dan ditiru. Untuk hal hal yang teladan. Bukan untuk hal hal yang curang. Karena bisa saja tendensi tersebut akan terbawa sampai dewasa, apapun dilakukan demi tujuan yang dicapai, walaupun dengan cara negatif.

Mudah mudah an... pemerintah cq Depdiknas ke depan ini bisa lebih bijak ya dalam mengambil keputusan. Walaupun berorientasi pada perbaikan standar pendidikan dasar dan menengah di Indonesia agar dapat bersaing dengan luar negeri, namun.. kan bukan berarti membuat panik banyak orang. Step by step mungkin, jangan gerudugan begini.

Bukankah kita lihat sendiri, orang tua bingung, sekolah bingung, murid panik... endingnya??????????????? Dan saking paniknya......................... akhirnya dimana mana diadakan istigosah (bener ndak tulisannya??) akbar...... malam malam...
Sampai nangis nangis ndak keruan........... bertobat ampun ampun...




Menurut saya itu bukan pendidikan spiritual yang bagus untuk anak anak.
Gimana ya????????? ya saya rada ndak cocok saja dengan cara seperti itu.
Hal tersebut terlihat seperti, sesuatu hal yang pasti dapat berubah oleh cara yang secara spiritual dilakukan tidak pada wacana yang tepat.
Seolah olah, dengan istigosah akbar, diharapkan semua masalah bisa selesai. Semua anak bisa lulus.

Bukan.. bukan begitu masalahnya..
Yang penting di review adalah ada kebijakan pemerintah cq depdiknas yang harus diperbaiki agar mengena pada sasaran namun tanpa mengurangi kualitasnya.
Tetap dapat lulus 100% tp tanpa anak anak mencari bocoran.
Tetap ujian nasional, namun anak anak siap mental dan kemampuan pengetahuannya, tanpa harus melakukan hal hal yang bersifat spiritual secara berlebih lebihan.. dan tidak pada tempatnya.
Masih untung tidak ada berita yang meliput,... anak anak mau ujian, pada lari ke dukun atau "wong pinter".....
Gawat kan???!!!

Saya tidak menafikkan kegiatan istigosah tersebut. Menurut saya, memang sih masalah berdoa.. itu perlu. Namun itu ranah pribadi masing masing yang jadi urusan masing masing juga. Apalagi ini soal ujian akhir yang prosesnya berhubungan dengan kemampuan pribadi masing masing dalam menyerap materi pelajaran. Ya.. starting up nya ya dengan peningkatan diri lah, dengan belajar dan menguasai materi dengan baik. Ya kan...

Jadi... Indonesia Bisa !!!!!!!!!!!!! (kata SBY.... walaupun kata anak saya itu mirip iklan M150 huehehehe...)

6 comments:

Anonymous said...

iya tuh. gak adil banget. penentuan kelulusannya cuma berdasar UAN. Kayanya kalo aku skolahnya jaman skrg, gak akan pernah lulus deh, soalnya sering stress saat mo ujian. :D

SinceYen said...

Dari sekolahan generasi kita sampe sekolahan generasi saat ini, artinya orang2 yang menjabat, berwenang untuk membuat sebuah keputusan, para guru, tentunya juga berganti generasi, menjadi lebih baik kah? Atau copy-paste, atau malah awut2an?

Ujian mo distandardkan, boleh, tapi apakah level setiap sekolah, baik sarana dan prasarananya juga sudah seimbang?

Murid ya belajar tugasnya.
Doa rame-rame tapi kalo selama ini blajarnya juga awut-awutan.. siapa yang sedang dipermainkan di sini?

ika rahutami said...

tapi di satu sisi Ret, aku cuman heran, nilai kelulusan cuman 5 kok ya bikin gusar (di luar sistem yang salah lo)... lha kalo 5 aja ga mampu, gimana mau compete dengan negara lain?

astrid savitri said...

Pilihannya cuma masuk ke dalam sistem atau melawannya.

sajak puisi jiwa dan cerita said...

wah oke banget tuch mbak..... siapa tau dengan hal seperti itu akan membuka mata bathin para petinggi di dinas dikbud.standarisasi sih boleh2 aja,tapi liat dulu indikator yang membuat para siswa kelabakan dan ujung2nya stress

sajak puisi jiwa dan cerita said...

met sore mbak...
kayaknya terlalu banyak "kesalahan" dalam sistem pengajaran dalam arti bukan caranya tapi pelakunya yaitu guru yang notabene adalah sebagai pendidik,bukan pengajar dan kadang itupun telah bercampur aduk dengan kepentingan pribadi.makanya sang murid/siswa jadi kelabakan saat menghadapi UAN