Monday, December 08, 2008

Gusti Allah tidak "Ndeso"

oleh Emha Ainun Nadjib

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun.
"Cak Nun,"kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaantiba-tiba sampeyanmenghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu:pergi ke masjid untukshalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantartukang becak miskin kerumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan.""Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar sipenanya.
"Ah, mosok Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun."Kalau saya memilihshalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidakngajak-ngajak, " katanya lagi."Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surgaorang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harusditolong, Tuhan tidakberada di mesjid, melainkan pada diri orang yangkecelakaan itu.Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yangkesepian, Akulah yang kesepian itu.Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tigaorang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapalal-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran,tapi suka beramal,tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara,itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapimenginjak-injaknya. Kalaukorupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orangyang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran.Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standarkesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknyadia hadir di kebaktianatau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah outputsosialnya : kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain,memberi, membantu sesama.Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mestishalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memilikiperilaku yang santun dan berkasih sayang. Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalahsikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama.Bila kitacuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian,ikut misa, datang kepura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yangberagama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar,hidup bersih, maka itulah orang beragama.Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya,melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan social pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid,sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. ~

2 comments:

astrid savitri said...

Mengutip Multatuli (yg juga sering dikutip Prmoedya) bhw tugas manusia adalah menjadi manusia; tp mirip dgn memilih sholat jumat atau menolong org kecelakaan, pastinya kita ndak boleh sok tahu bhw itu haram dan ini halal; sebab tugas manusia adalah menjadi manusia, bukan menjadi Tuhan.

etty said...

Seperti yg sering dikatakan mas Budi - suamiku: "Sholat tidak harus dilakukan di atas tikar sembahyang".

Ketika kita bekerja dg baik atau ketika kita menolong orang sakit, maka kita sedang ber sholat.

Tetapi gue seringkali dibuat geleng2 kepala melihat tingkah orang2 di sekitar gue. Lama banget gue berdiri di depan pintu sebuah rumah krn harus menunggu si empunya sdg ber sembahyang. Kali lain gue dibuat menunggu dg kesakitan di sebuah ruang tunggu dokter krn si dokter mau sembahyang dulu ;-(