Tuesday, November 28, 2006

Antara Anyer dan Panarukan ... kita kerja paksa

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara, 2005
145 hal.

Membaca buku tersebut diatas jadi teringat penyanyi negeri jiran sana yang melantunkan..

Antara Anyer dan Jakarta
Kita jatuh cinta
Antara anyer dan Jakarta…



Iya. Lha untung lagunya masih antara Anyer Jakarta, kalau Anyer Panarukan, lha kan jadi cinta rodi.

Kesadaran akan betapa banyak nyawa manusia hilang dalam pembuatan jalan Daendels ini membuat kita sadar, betapa tiada harganya nyawa manusia pada jaman penjajahan Belanda yang ratusan tahun tersebut.
Data jumlah yang sebenarnya tidak pernah terungkap. Jika memang dapat diungkap, pastilah akan menggemparkan dunia, betapa demi sebuah jalan pos, terjadi pembunuhan tidak direncanakan terjadi di pulau Jawa ini.

Mengikuti deskripsi sejak anyer sampai dengan panarukan membuat ingatan kita melayang ke wajah kota kota tersebut yang pernah kita singgahi.
Kota besar. Kota kecil. Kota sedang. Desa kecil. Semua terlintas di benak kita.

Secara keseluruhan, buku ini memang hanya berisi deskripsi kota kota yang dilewati jalan pos tersebut. Sedikit diberi uraian sejarah kota, jika memang terdapat sejarah kota yang dilewatinya. Bahkan diberi sedikit riwayat pembangunan jalan saat melintasi kota tersebut, jika memang ada data sejarah yang mendukung. Namun om pram tidak memberikan detail sejarah kota yang dilewati oleh jalan pos, karena memang bukan hal tersebut focus penulisan buku ini.

Secara sekilas, saya dapat membayangkan bagaimana perkembangan dan perjalanan penulis dalam menyusuri jalan tersebut. Apalagi jalan tersebut adalah jalan urat nadi pulau Jawa bagian utara. Namun satu hal yang meleset dari perkiraan saya. Ternyata jalan pos itu membelok ke selatan setelah sampai Jakarta. Kalau menurut urutan kota kan harusnya lurus ke Cirebon ya?. Ternyata tidak.
Jalan tersebut membelok ke Bogor, Priangan, Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, Karangsembung, dan kemudian Cirebon. Satu bagian jalan yang terkenal sampai sekarang adalah daerah yang disebut Cadas Pangeran di Sumedang. Terkenal karena pembangkangan Pangeran Kornel terhadap Daendels.

Gila memang Daendels itu. Gugur gunung dengan alat alat yang kita tahu sendiri.. belum ada alat berat saat itu untuk membuat jalan baru. Rakyat setempat dikerahkan habis habis sampai titik darah penghabisan demi obsesi Daendels ini.

Dari Cadas Pangeran, jalan menuju ke Cirebon, dan kemudian seterusnya lurus ke arah timur seperti jalan yang kita kenal sekarang ini yang mengarah ke Surabaya.
Pembuatan Jalan dari Tegal mengarah ke timur tidak menemui kesulitan, karena memang dari Tegal hanya meningkatkan dan melebarkan jalan yang ada. Pada saat itu Mataram sudah membuat sarana jalan demi tujuannya untuk ekspansi ke wilayah Barat.

Cirebon menuju Semarang, rutin selalu dilewati semua orang saat akan mudik lebaran. Jadi,..semua orang mengenal masing masing kota yang dilewati.

Anehnya, mengapa Daendels dulu tidak membuat jalan dari Jakarta langsung Cirebon ya???

Dari Semarang sampai Sidoarjo, saya juga beberapa kali melewatinya. Sehingga kota kota kecil yang disebutkan oleh om Pram saya mengenalnya dengan baik. Semua. Kota kota dari semarang ke Surabaya merupakan kota kota yang mempunyai sejarah yang cukup panjang, dan dengan dukungan data sejarah yang akurat juga. Namun, kenyataannya kota kota tersebut mengapa tidak bisa berkembang menjadi lebih besar daripada yang ada sekarang ya?

Saat ini Semarang ke Kudus, jalan yang melintasinya merupakan jalan lebar dan bagus yang merupakan jalan 6 lajur pada beberapa bagian, dan 4 lajur pada beberapa bagian yang lain. Sekilas pandang, merupakan jalan yang asyik untuk dilalui.
Namun begitu keluar dari Kudus mengarah ke Surabaya, jangan ditanya lagi. Jalan dua lajur untuk dua arah. Jadi kita hanya dapat berjalan beriringan sepanjang jalan tersebut. Jika ingin mendahului kendaraan di depan, jangan harap bisa seenaknya. Harus benar benar menunggu jalanan kosong dari arah yang berlawanan.

Mengherankan juga ya, mengingat jalan tersebut kan merupakan jalan utama di bagian utara pulau Jawa.

Om pram, menceritakan sedikit kisah yang terjadi pada masa lalu yang merupakan latar belakang sejarah masing masing kota tersebut.

Betapa kayanya wilayah tersebut jika memang tidak dijadikan rayahan oleh para pengusaha nakal. Dahulu wilayah tersebut dapat memproduksi kapas dalam jumlah besar. Demikian juga kayu jati. Wah…!!!

Sesampainya di Surabaya, jalan tersebut mengarah ke timur melewati Sidoarjo, Porong, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Besuki dan berakhir di Panarukan. Beberapa kota terakhir saya mungkin pernah melintasinya saat melakukan perjalanan darat ke Bali, namun hanya lamat lamat ingatan akan gambaran kota kota tersebut.

Jadi, begitu panjangnya jalan (lebih kurang 1000 km) yang mengorbankan ratusan ribu bahkan mungkin jutaan nyawa manusia. Tragedi kerja paksa pada jaman Daendels.
Entah kita harus berterima kasih atau menghujat Daendels untuk programnya tersebut.

Dari berpuluh kota yang dilewati jalan pos tersebut, beberapa kota yang membuat saya tertarik adalah kota kota setelah Kudus yang menuju Surabaya. Saya sering melewati jalan darat dari Semarang ke Surabaya, dan tiap kali melewati jalan tersebut berpuluh tanda Tanya menghiasi benak pikiran saya. Dan saya memang sengaja memilih perjalanan darat dengan mobil daripada dengan kereta api, karena ada perasaan ketertarikan saya dengan kota kota yang terlewati tersebut.

Mengapa? Sepertinya terdapat misteri di balik kota kota kecil yang pada masa lalu mempunyai peranan yang cukup penting bagi eksistensi nusantara ini. coba bayangkan, kota yang di kitab kitab kuno baik dari nusantara maupun dari Cina tertulis dengan jelas dan gagah, sekarang hanya menjadi kota kota persinggahan kecil kurang begitu raya.
Bayangkan saja, Tuban dengan pelabuhan yang besar di masa lalu, bahkan jadi tempat pendaratan pasukan Kubilai Khan yang akan menyerang Singosari. Pati dengan Adipati Pragolanya, dan bahkan cerita Roro Mendut nya juga menjadi trade mark.
Demak dengan Kerajaan Islam pertama nya di Jawa. Jepara dengan pelabuhannya saat Pati unus akan menyerang portugis di melayu sana. Hebat kan?
Sekarang???
Mau menyalip kendaraan yang ada di depannya saja, sulitnya bukan main. Harus urut urutan panjang. Mana kondisi jalannya juga bikin duduk di mobil jadi tidak jenak, karena permukaan jalan yang kurang halus.

Akhirnya, hanya ingatan kerja rodi pembuatan jalan anyer panarukan sajalah yang meninggalkan kesan akan kejamnya Daendels, kejamnya para penjajah Belanda tersebut.
Para penguasa wilayah pada masa tersebut benar benar tidak punya gigi untuk melawan kesewenang wenang an tersebut. Entah mengapa.

Om Pram bilang, bisa jadi kejadian kerja paksa di balik pembuatan Jalan Raya Pos Daendels ini adalah sebuah genosida kemanusiaan paling besar pada masanya.
“Indonesia adalah negeri budak. Budak diantara bangsa dan budak bagi bangsa lain”.

Sekarang???
Bagaimana Indonesia ku saat ini???

7 comments:

nl said...

duh..
jadi inget, suatu hari beli buku ini tanpa sengaja..dan sampe skrg gak diapa2in..

Anonymous said...

Hehehe mbak’e aku mau jadi pembela Daendels nih di War Crime Court yang menurutku berjalan agak pincang nih…

Saya tidak setuju sama konsep genosida Oom Pram, Justru menurutku Daendels saat itu adalah seorang tokoh visioner, dia melihat kedepan, dia melihat esensi kesinambungan futuristik jalur distribusi untuk kepentingan ekonomi dan ekspansi, makanya lahir ide pembangunan anyer panarukan, cadas pangeran dll… kalaupun memang pada pelaksanaannya dilapangan sebagai seorang berkuasa saat itu, memanfaatkan wong cilik alias inlaander .. lha ya piye? Dengan jabatan gubermen nya di VOC sangat logis dan wajar kalau pada akhirnya alternatif termurah adalah pemakaian tenaga rodi.

Kita tidak bisa menuding Daendels sebagai pelaku Genosida, bahkan VOC pun yang notabene saat itu sebagai Sebuah perusahaan dagang mungkin tidak memiliki niatan itu, yang ada sebenernya perbudakan massal, Wong Kumpeni diperbudak nafsu serakah dan angkara, dan Wong cilik diperbudak Kumpeni!... that simple….

Daendels yang kita kenal sebagai seorang tokoh penjajah sering digambarkan kurang adil, dia dianggap sebagai seorang yang otoriter, hal yang sebenernya ndak bener juga, coba kalo kita telaah sejarah pembangunan cadas pangeran misalnya, jalan bersejarah ini memiliki kisah yang cukup unik.

Pada saat kejadian pembangunan Cadas pangeran, Bupati Sumedang saat itu : Pangeran Koesoemadinata IX pernah menyambut uluran tangan Daendels ( yang saat itu sedang patroli melihat kemajuan pembangunan jalan ) dengan tangan kiri! sementara tangan kanannya memegang keris yang siap dikeluarkan! Lalu setelah itu Pangeran Koesoemadinata IX bicara kepada Daendels tentang penderitaan rakyatnya yang dipaksa membangun cadas pangeran.

PERHATIKAN INI! : Kemudian Daendels berjanji kepada Bupati Sumedang tersebut untuk mengambil-alih pekerjaan pembuatan jalan itu, dan memerintahkan agar Zeni Belanda yang meneruskan pekerjaan itu, sedangkan rakyat Sumedang hanya membantu.

Nah? Bagaimana? Sejarah tersebut ternyata mengandung inti kebenaran yang bagus kan? Bahwa Daendels ( for whatever reason ) ternyata mampu kompromi sama Inlaander, memikirkan side impactnya. Dan Cerita tadi tidak cocok dengan sifat genosida. Genosida tidak kenal kompromi, hanya kenal satu kata pasti yaitu : Basmi!..

Sorry oom pram, kita orang nyanda sepakat sama konsep oom yang satu itu no.... apalagi kalo kita buka definisi genosida yang bunyinya : Genocide is any of the following acts committed with any intent to destroy, in whole or in part : a national, ethnic, racial or religious group.

Jelas Daendels bukanlah tipe orang yang saat itu sedang menjalankan genosida kan mbak?... Nah Majelis Persidangan yang saya hormati, dengan alasan tersebut diatas maka saya yakin tuduhan genosida pada Daendels bisa digugurkan secara hukum…

Terakhir sebagai penutup dari pledoi yang saya bacakan ini, bolehlah kiranya saya memberikan sekilas pandangan saya terhadap nilai perbudakan : bukankah mental diperbudak itu sudah menjadi 'trade mark' yang sangat melekat erat pada bangsa kita ini? Hehehehe...

Kepada para nasionalis.. Saya memohon maaf kalau ada kata2 saya yang kurang berkenan, Sekian dan terima kasih wassalam.!

dodY said...

waktu kerja paksa ngga ada acara jatuh cinta yah? hehehe... *maaf komen ngga mutu gini* :)

naanaaa said...

mbak... mbak... aku mampir mbak. aku juga dah baca bukunya :D tapi gak inget lagune antara anyer dan jakarta **komentar gak penting**

Anonymous said...

nah loh antara anyer dan mana lagi sha kerja paksanya salm Sha sukses ya..

andreas iswinarto said...

Silah simak, semoga bermanfaat
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Kompilasi Liputan Khusus Kompas (40 artikel berita-feature dan opini)
: Ekspedisi 200 Tahun Anjer-Panaroekan (Anyer-Panarukan)

Bacaan penting untuk refleksi 100 tahun kebangkitan nasional, 10 tahun reformasi

Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya,
kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya.
Kalau dia tak mengenal sejarahnya.
Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,”

-Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-
dikutip oleh Redaksi Kompas untuk pengantar edisi khusus ini

salam hangat
andreas iswinarto

software2010 said...

Sekarang bagaimana kita menyikapi SEJARAH masa lalu yang terus berputar dan BERDAUR ULANG dg waktu,sudahkah kita mengetahui tentang SEJARAH diri kita sendiri? siapa kita,orang tua kita,kakek,nenek,buyut dan lain-lain. Apa yang mereka lakukan pada masanya, sangat IRONIS sekali jika kita hanya TAHU sejarah orang lain di banding diri kita sendiri.... seperti apa kata OM PRAM
"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya,kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya.Kalau dia tak mengenal sejarahnya.
Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,”

Salam Damai N Cinta