Wednesday, March 11, 2009

Si Mata Elang (2)

Ujian masuk STAN di Istora Senayan, membuat aku sedikit bingung. Bagaimana bisa konsentrasi mengerjakan soal soal ujian langsung bersinggungan dengan panas matahari dan silaunya lapangan hijau?
Begitu mendapatkan pintu masuk sesuai yang tertera pada kartu ujian, aku pamitan pada ibu dan saudara sepupu yang mengantar kami. Sedikit grogi karena sendirian, namun tidak cukup mengerikan untuk membuat aku keder. Tidak ada satupun orang yang aku kenal di area sekitarku.
Soal dibagi dan langsung dikerjakan.
Sebagian besar dapat aku kerjakan dengan penuh keyakinan. Semuanya. Keluar dari stadion utama Senayan dengan penuh kepuasan. Usaha sudah dilakukan, hanya satu tangan yang akan menentukan apakah aku lulus atau tidak.

Menuju stasiun Gambir malam harinya, karena ini bukan kunjungan wisata, jadi begitu tujuan utama sudah dilakukan, langsung pulang ke Semarang. Apalagi ibu bukan pengangguran yang bisa meninggalkan tugasnya lama lama.
Lega, mendapatkan tempat duduk pada kereta bisnis Senja Utama walaupun tanpa pesan. Seperti biasa, koran adalah bawaan wajib waktu naik kereta. Jam awal perjalanan akan jadi teman yang baik menghabiskan waktu, dan mulai tengah malah akan jadi alas yang baik untuk mengistirahatkan kaki.

Tanda kereta akan berangkat sudah berbunyi, aku dan ibu yang memang sudah ada di dalam gerbong sejak tadi hanya melihat kesibukan orang orang yang saling berpamitan. Kereta berjalan lambat, dan... oooops!
Si mata elang terlihat memasuki gerbong keretaku dengan satu orang temannya. Mungkin dua temannya tinggal di Jakarta.
Mataku bertemu pandang dengan matanya, sejenak, kaget. Namun, aku tak berani melanjutkan pandangan yang sudah bertemu untuk sesaat untuk dijadikan pertemuan ucapan.
Aku turunkan pandanganku ke arah koran yang sedang aku pegang. Kubaca kalimat kalimat yang berbaris tanpa satupun masuk ke otakku.
Dia dan temannya pun lewat tempat dudukku tanpa kata, karena ku tutupi seluruh pandanganku dengan koran.
Sibuk bertanya-tanya dalam hati, kok bisa satu gerbong lagi ya?...
Namun sepertinya tempat duduknya berbeda jauh dengan tempat dudukku.
Ah....
sejenak gejolak jiwa remaja menggelora, tergoda untuk mencari dimana tempat duduknya....
namun... apa pentingnya buatku????
apakah dia juga memperhatikanku?...
belum tentu....
rasa minderku membuatku membuang jauh jauh keinginanku untuk mencari dan memperhatikan si mata elang.

Perjalanan Jakarta Semarang pun menjadi perjalanan yang panjang dan penuh usaha melirikkan ekor mataku, siapa tahu si mata elang duduk di jangkauan pandanganku.
Namun sia-sia, tidak terlihat sosoknya barang sebentar. Haruskah aku berdiri dan berpura pura ke toilet kereta agar tahu dimana tempat duduknya???
Sepertinya itu usaha terakhir untuk dapat mengetahui dimana si mata elang berada.

Saat kembali dari toilet kereta, berjalan di gang kereta, aku menangkap matanya. Untuk sesaat aku sakit jantung mendadak. Pandang mataku bertemu pandang dengan matanya.
Dia duduk beberapa baris di belakangku. Wajah laki laki yang berkarakter, mata yang tajam, namun dapat membuat aku tersihir untuk bisa jadi deg deg an ndak karuan.
Perjalanan dari toilet ke tempat dudukku yang hanya beberapa langkah, terasa lama dan mempesona. Tatapan tajam matanya masih lekat erat di benakku, sampai sekarang.

Sesampai di stasiuan Tawang, sia sia aku mencoba mencari sosoknya. Hilang dalam kerumunan penumpan yang sama sama ingin cepat sampai tujuan dan istirahat.
Siapa si mata elang itu ya? Mengapa dia tidak mengajak aku berkenalan? Apakah perasaan takutnya sama dengan perasaan takutku?
.......

(bersambung)

3 comments:

Anonymous said...

apakah ada kelanjutannya? apakah ada pertemuan berikutnya? siapa dia? siapa dia sekarang?

Anonymous said...

IKI JUDULE OPO SEH? KOK KAYA LAGU SEPASANG MATA BOLA??? hahahahaha mirip sinetron nduk... :P

ika rahutami said...

mmmm.... masihkah terpendam rasa itu?
kadang justru rasa yang tidak tuntas itu yang membuat kita hidup dan berlari mengejarnya...
hehehhe...
nang stasiun tawang meneh wae Niek... siapa tahu ketemu